Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara-negara G7 Diminta Perkuat Rencana Mineral Kritis Berkelanjutan

Kompas.com - 17/06/2025, 14:05 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan mendesak negara anggota G7 untuk memerhatikan keadilan, keberlanjutan, dan masyarakat adat dalam tambang mineral kritis.

Dalam desakan yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 yang sedang berlangsung pada 15–17 Juni 2025 di Kanada, mereka menilai bahwa penyusunan Five-Point Plan terkait keamanan pasokan mineral kritis saja tidak cukup untuk keberlanjutan.

Five-Point Plan yang diluncurkan di Sapporo, Jepang, pada 2023 mencakup rencana jangka menengah dan panjang, rantai pasok yang bertanggung jawab dan diversifikasi, daur ulang dan sirkularitas, inovasi dan substitusi teknologi, serta kesiapsiagaan gangguan pasokan.

Kedua organisasi menilai, desakan soal praktik keberlanjutan dalam tambang mineral kritis penting lantaran Indonesia memainkan peran strategis sekaligus menanggung dampak yang tak sedikit, misalnya dalam kasus tambang nikel.

"Terjadi perampasan tanah, beberapa dengan kekerasan, milik masyarakat adat dan lokal untuk kepentingan perusahaan yang sedang ekspansi," ujar Rahmat Kottir, Kepala Departemen Eksternal WALHI Sulawesi Selatan dalam konferensi pers “Sorotan dari Indonesia untuk KTT G7” pada Senin (16/6/2025).

Selain konflik agraria, Ramah juga juga menyoroti dampak lingkungan dari penggunaan energi kotor.

Pilih idol K-Pop/aktor K-Drama favoritmu & dapatkan Samsung Galaxy Fit3!
Kompas.id
Pilih idol K-Pop/aktor K-Drama favoritmu & dapatkan Samsung Galaxy Fit3!

Baca juga: Potensi Tambang dan Hutan

“Emisi karbon yang tinggi akibat penggunaan PLTU batu bara untuk produksi tidak hanya menyebabkan pencemaran air dan udara, tetapi juga degradasi lingkungan yang harus ditanggung oleh masyarakat lingkar tambang-industri nikel,” tambah Rahmat.

Koordinator AEER, Pius Ginting, mengungkapkan bahwa pertambangan nikel di Sulawesi dan Halmahera telah menyebabkan deforestasi besar-besaran dan pencemaran air akibat tailing HPAL serta sedimentasi tambang.

Dari sisi sosial, ia juga menegaskan adanya praktik kriminalisasi terhadap warga dan represi terhadap aksi protes.

Oleh karena itu, AEER dan WALHI Sulsel mendesak negara-negara G7 dan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rantai pasok nikel untuk:

  1. Menyusun dan memperkuat kebijakan uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan dalam rantai pasok mineral kritis.
  2. Menghentikan penggunaan energi fosil, baik batu bara maupun gas, dalam proses produksi nikel dan mineral strategis lainnya.
  3. Mendorong perusahaan industri nikel asal G7 menjadi pelopor dalam pengembangan energi terbarukan di kawasan industri nikel.
  4. Menetapkan kuota penggunaan nikel oleh negara G7 dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya rusak lingkungan. 

Menurut mereka, tingginya permintaan nikel memang didorong oleh tujuan transisi energi untuk menanggulangi krisis iklim. Namun, negara-negara maju tidak boleh membebankan biaya ekologis dan sosial dari transisi ini kepada masyarakat dan lingkungan di negara penghasil seperti Indonesia.

Baca juga: Kemenhut Cabut Izin Tambang di Pulau Wawonii Sulteng

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Hijaukan Pesisir, KAI Logistik Tanam 2.000 Mangrove di Probolinggo
Hijaukan Pesisir, KAI Logistik Tanam 2.000 Mangrove di Probolinggo
BUMN
Kematian Lansia akibat Gelombang Panas Melonjak 85 Persen Sejak 1990-an
Kematian Lansia akibat Gelombang Panas Melonjak 85 Persen Sejak 1990-an
Pemerintah
Larangan Plastik Segera dan Serentak Hemat Uang 8 Triliun Dolar AS
Larangan Plastik Segera dan Serentak Hemat Uang 8 Triliun Dolar AS
Pemerintah
Digitalisasi Bisa Dorong Sistem Pangan Berkelanjutan
Digitalisasi Bisa Dorong Sistem Pangan Berkelanjutan
LSM/Figur
Lama Dilindungi Mitos, Bajing Albino Sangihe Kini Butuh Proteksi Tambahan
Lama Dilindungi Mitos, Bajing Albino Sangihe Kini Butuh Proteksi Tambahan
LSM/Figur
Melonjaknya Harga Minyak Bisa Percepat Transisi Energi Hijau Global
Melonjaknya Harga Minyak Bisa Percepat Transisi Energi Hijau Global
Pemerintah
5 Warga Yogyakarta Meninggal akibat Leptospirosis, Dinkes Perkuat Deteksi dan Survei Lingkungan
5 Warga Yogyakarta Meninggal akibat Leptospirosis, Dinkes Perkuat Deteksi dan Survei Lingkungan
Pemerintah
Ekowisata Lumba-lumba Bisa Untungkan Warga, tapi Perlu Rambu-rambu
Ekowisata Lumba-lumba Bisa Untungkan Warga, tapi Perlu Rambu-rambu
LSM/Figur
Gula dan Minyak Goreng Juga Sumber Emisi, Industri Perlu Hitung Dampaknya
Gula dan Minyak Goreng Juga Sumber Emisi, Industri Perlu Hitung Dampaknya
Swasta
Cegah Banjir, Pemprov DKI Siagakan Pasukan Oranye untuk Angkut Sampah Sungai
Cegah Banjir, Pemprov DKI Siagakan Pasukan Oranye untuk Angkut Sampah Sungai
Pemerintah
Greenpeace: Hujan Juli Bukan Anomali, Tanda Krisis Iklim karena Energi Fosil
Greenpeace: Hujan Juli Bukan Anomali, Tanda Krisis Iklim karena Energi Fosil
Pemerintah
Anoa dan Babirusa Buktikan, Pulau Kecil Kunci Jaga Keanekaragaman
Anoa dan Babirusa Buktikan, Pulau Kecil Kunci Jaga Keanekaragaman
LSM/Figur
Triwulan I 2025, BRI Catat Pembiayaan Hijau Capai Rp 89,9 Triliun
Triwulan I 2025, BRI Catat Pembiayaan Hijau Capai Rp 89,9 Triliun
BUMN
Kelinci Terlangka di Dunia Terekam Kamera Jebak di Hutan Sumatera
Kelinci Terlangka di Dunia Terekam Kamera Jebak di Hutan Sumatera
LSM/Figur
Menteri LH Minta Perusahaan Bantu Kelola Sampah Warga Pakai Dana CSR
Menteri LH Minta Perusahaan Bantu Kelola Sampah Warga Pakai Dana CSR
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau