Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ayub Wahyudin
Dosen

Dosen ISIF Cirebon, Mahasiswa Program Doktoral UIN Walisongo Semarang

Mitologi Raja Ampat: Ekploitasi Tak Sekadar Perusakan Alam

Kompas.com, 20 Juni 2025, 08:10 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mitos, tidak hanya meninggalkan struktur cerita yang unik dan menarik, tetapi mencerminkan bagaimana cara masyarakat Papua memahami asal-usul kekuasaan sebagai bagian dari tatanan sakral dan ekologis (Rutherford, 2003).

Ekologi kosmos tidak sekedar mitos semata, tetapi rangkaian dari Alam sebagai entitas sakral, bukan objek eksploitatif.

Ekologis bersifat timbal balik, manusia harus menjaga alam, pada akhirnya akan menciptakan harmonis dengan dunia roh. Ini adalah pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dianggap sebagai bagian dari warisan kosmik.

Mitologi dan ritual menjadi cara menjelaskan dan menjaga keseimbangan ekologis tersebut.

Melanggar hukum adat

Jika kita memaksa menambang alam yang mereka jaga dalam pemaknaan panjang mitologis, secara turun tremurun, maka mereka merasa tercerabut dari panggung hukum adat, sebagai bagian dari sistem hukum tidak tertulis, dan bentuk-bentuk rekonstruksi paksa bisa dianggap melanggar kesakralan dan tata adat.

IPO (World Intellectual Property Organization) sebagai Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia, memperingatkan ini, bahwa: “Setiap penyalahgunaan pengetahuan tradisional atau ekspresi folklor, termasuk mitos, tanpa persetujuan yang diinformasikan sebelumnya, dapat dianggap sebagai perampasan budaya atau pencurian intelektual.”

Maka, jika cerita rakyat atau mitos Raja Ampat digunakan sebagai branding pariwisata tanpa izin, penambangan, maka komunitas bisa menuntut secara hukum bila negara sudah mengatur perlindungan budaya tersebut berdasarkan prinsip dari WIPO.

Baca juga: Narasi Hijau Palsu: Dampak Nyata Tambang Nikel di Balik Mobil Listrik

Alasan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang sempat mengemukan bahwa izin PT Gag Nikel tidak dicabut karena operasinya berada di luar kawasan geopark Raja Ampat, memang dapat dibenarkan secara administratif.

Secara hukum, jika perusahaan tersebut memiliki izin resmi dan tidak melanggar batas wilayah konservasi yang ditetapkan secara nasional maupun oleh UNESCO, maka pemerintah berhak mempertahankan legalitasnya (euters.com, 10/06/2025)

Namun, pendekatan legal-formal semacam itu tidak serta-merta menghapus tanggung jawab ekologis dan sosial yang lebih luas.

Raja Ampat bukan hanya kawasan administratif, melainkan ruang hidup ekologis masyarakat adat Papua yang terhubung secara spiritual yang mereka jaga melalui hukum adat serta mitologi turun temurun hingga akhir dunia.

Dampak tambang, meski secara teknis di luar geopark, tetap bisa mencemari perairan, merusak ekosistem, dan memicu konflik sosial.

Oleh karena itu, alasan Bahlil perlu diuji melalui audit independen dan partisipasi masyarakat adat, agar kebijakan yang diambil tidak sekadar sah secara hukum, tetapi juga adil secara ekologis dan etis.

Arus laut yang membawa sedimentasi dari wilayah tambang ke perairan suci, bagi masyarakat adat, bisa dianggap sebagai “penyusupan bencana” ke dalam tubuh alam yang suci.

Dalam bingkai mitologi, air yang tercemar berarti “ritus kosmologis yang terputus” dan itu bukan sekadar kerugian ekologis, tetapi pelanggaran spiritual terhadap tatanan hidup.

Maka, perlindungan lingkungan bukan hanya urusan teknis, tetapi bagian dari etika budaya yang menghormati leluhur dan menjaga dunia tetap berada dalam harmoni.

Negara semestinya memosisikan diri bukan sebagai otoritas tunggal yang menentukan apa yang sah dan tidak, melainkan sebagai penengah arif yang mendengar suara masyarakat adat, merangkul mitologi sebagai sumber pengetahuan ekologis, dan tidak memaksakan modernitas yang memutus jalinan spiritual antara manusia dan alam.

Kegagalan memahami ini bukan sekadar kesalahan kebijakan, tetapi bisa menjelma menjadi pengkhianatan terhadap warisan kosmologis Nusantara yang selama ini justru menopang daya hidup ekologis kita.

Clifford menegaskan bahwa mitos bukan hanya dongeng, tetapi peta makna yang hidup yang membantu komunitas memahami dunia dan tempat mereka di dalamnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Sumatera Darurat Biodiversitas, Habitat Gajah Diprediksi Menyusut 66 Persen
Sumatera Darurat Biodiversitas, Habitat Gajah Diprediksi Menyusut 66 Persen
Pemerintah
PGE dan PLN Indonesia Power Sepakati Tarif Listrik PLTP Ulubelu
PGE dan PLN Indonesia Power Sepakati Tarif Listrik PLTP Ulubelu
BUMN
Asia Tenggara Termasuk Sumber Utama Gas Rumah Kaca
Asia Tenggara Termasuk Sumber Utama Gas Rumah Kaca
LSM/Figur
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Pemerintah
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
LSM/Figur
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
LSM/Figur
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Swasta
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
LSM/Figur
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
LSM/Figur
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Pemerintah
Pakar Kritik Sistem Peringatan Dini di Indonesia, Sarankan yang Berbasis Dampak
Pakar Kritik Sistem Peringatan Dini di Indonesia, Sarankan yang Berbasis Dampak
LSM/Figur
Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan Dirambah untuk Kebun Sawit
Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan Dirambah untuk Kebun Sawit
Pemerintah
Menteri LH Sebut 4,9 Juta Hektar Lahan di Aceh Rusak akibat Banjir
Menteri LH Sebut 4,9 Juta Hektar Lahan di Aceh Rusak akibat Banjir
Pemerintah
Sebulan Pasca-banjir Aceh, Distribusi Logistik Dinilai Belum Merata Ditambah Inflasi
Sebulan Pasca-banjir Aceh, Distribusi Logistik Dinilai Belum Merata Ditambah Inflasi
LSM/Figur
1.050 Petugas Kebersihan Disiagakan Saat Ibadah Natal 2025 di Jakarta
1.050 Petugas Kebersihan Disiagakan Saat Ibadah Natal 2025 di Jakarta
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau