Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Mitos, tidak hanya meninggalkan struktur cerita yang unik dan menarik, tetapi mencerminkan bagaimana cara masyarakat Papua memahami asal-usul kekuasaan sebagai bagian dari tatanan sakral dan ekologis (Rutherford, 2003).
Ekologi kosmos tidak sekedar mitos semata, tetapi rangkaian dari Alam sebagai entitas sakral, bukan objek eksploitatif.
Ekologis bersifat timbal balik, manusia harus menjaga alam, pada akhirnya akan menciptakan harmonis dengan dunia roh. Ini adalah pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dianggap sebagai bagian dari warisan kosmik.
Mitologi dan ritual menjadi cara menjelaskan dan menjaga keseimbangan ekologis tersebut.
Jika kita memaksa menambang alam yang mereka jaga dalam pemaknaan panjang mitologis, secara turun tremurun, maka mereka merasa tercerabut dari panggung hukum adat, sebagai bagian dari sistem hukum tidak tertulis, dan bentuk-bentuk rekonstruksi paksa bisa dianggap melanggar kesakralan dan tata adat.
IPO (World Intellectual Property Organization) sebagai Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia, memperingatkan ini, bahwa: “Setiap penyalahgunaan pengetahuan tradisional atau ekspresi folklor, termasuk mitos, tanpa persetujuan yang diinformasikan sebelumnya, dapat dianggap sebagai perampasan budaya atau pencurian intelektual.”
Maka, jika cerita rakyat atau mitos Raja Ampat digunakan sebagai branding pariwisata tanpa izin, penambangan, maka komunitas bisa menuntut secara hukum bila negara sudah mengatur perlindungan budaya tersebut berdasarkan prinsip dari WIPO.
Baca juga: Narasi Hijau Palsu: Dampak Nyata Tambang Nikel di Balik Mobil Listrik
Alasan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang sempat mengemukan bahwa izin PT Gag Nikel tidak dicabut karena operasinya berada di luar kawasan geopark Raja Ampat, memang dapat dibenarkan secara administratif.
Secara hukum, jika perusahaan tersebut memiliki izin resmi dan tidak melanggar batas wilayah konservasi yang ditetapkan secara nasional maupun oleh UNESCO, maka pemerintah berhak mempertahankan legalitasnya (euters.com, 10/06/2025)
Namun, pendekatan legal-formal semacam itu tidak serta-merta menghapus tanggung jawab ekologis dan sosial yang lebih luas.
Raja Ampat bukan hanya kawasan administratif, melainkan ruang hidup ekologis masyarakat adat Papua yang terhubung secara spiritual yang mereka jaga melalui hukum adat serta mitologi turun temurun hingga akhir dunia.
Dampak tambang, meski secara teknis di luar geopark, tetap bisa mencemari perairan, merusak ekosistem, dan memicu konflik sosial.
Oleh karena itu, alasan Bahlil perlu diuji melalui audit independen dan partisipasi masyarakat adat, agar kebijakan yang diambil tidak sekadar sah secara hukum, tetapi juga adil secara ekologis dan etis.
Arus laut yang membawa sedimentasi dari wilayah tambang ke perairan suci, bagi masyarakat adat, bisa dianggap sebagai “penyusupan bencana” ke dalam tubuh alam yang suci.
Dalam bingkai mitologi, air yang tercemar berarti “ritus kosmologis yang terputus” dan itu bukan sekadar kerugian ekologis, tetapi pelanggaran spiritual terhadap tatanan hidup.
Maka, perlindungan lingkungan bukan hanya urusan teknis, tetapi bagian dari etika budaya yang menghormati leluhur dan menjaga dunia tetap berada dalam harmoni.
Negara semestinya memosisikan diri bukan sebagai otoritas tunggal yang menentukan apa yang sah dan tidak, melainkan sebagai penengah arif yang mendengar suara masyarakat adat, merangkul mitologi sebagai sumber pengetahuan ekologis, dan tidak memaksakan modernitas yang memutus jalinan spiritual antara manusia dan alam.
Kegagalan memahami ini bukan sekadar kesalahan kebijakan, tetapi bisa menjelma menjadi pengkhianatan terhadap warisan kosmologis Nusantara yang selama ini justru menopang daya hidup ekologis kita.
Clifford menegaskan bahwa mitos bukan hanya dongeng, tetapi peta makna yang hidup yang membantu komunitas memahami dunia dan tempat mereka di dalamnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya