KOMPAS.com — Presiden Direktur Buyer Indonesia, Yuchen Li, menyatakan bahwa untuk menjawab tantangan pangan dan iklim, pihaknya fokus pada bioteknologi jagung DK95R.
Hal itu disampaikannya dalam acara Media Class 2025 bertajuk “The Science Behind: Food Security,” di Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Bioteknologi jagung tersebut merupakan bagian dari misi global Bayer yang bertajuk Health For All, Hunger For None.
“Kami memilih jagung karena selain memiliki nilai jual tinggi, tanaman ini juga bergizi dan bermanfaat baik bagi manusia maupun hewan,” jelasnya.
Menurutnya, ketahanan pangan berbasis jagung dapat memberikan berbagai keuntungan, bukan hanya untuk manusia tetapi juga ternak.
Bibit jagung DK95R dari Bayer pertama kali diuji coba pada Juli 2023 di Dongpo, Nusa Tenggara Barat. Hingga kini, proses budidaya masih terus berlanjut.
NTB dipilih sebagai lokasi uji coba karena hasil kajian internal menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki tingkat gangguan gulma yang tinggi.
“Kami melihat di NTB saat itu banyak petani yang mengalami penurunan hasil tani karena serangan gulma,” ujar Yuchen.
Dengan memilih daerah dengan gangguan tinggi, Bayer bisa menilai ketahanan varietas buatannya.
Baca juga: Ahli IPB: Kemarau Basah Bukan karena La Nina, tetapi Sunspot
Hasilnya ujicoba menunjukkan, bibit DK95R tahan gulma dan herbisida. Saat herbisida disemprotkan, hanya gulma yang mati, tanaman jagungnya tidak.
“Dengan matinya gulma di sekitar tanaman, semua nutrisi yang ada pada tanah dapat terserap maksimal oleh jagung,” jelas Yuchen.
Ia juga menambahkan bahwa karena tanaman utama tidak terganggu, proses pengendalian gulma menjadi lebih efisien dan kebutuhan herbisida pun menurun.
“Ada peningkatan hasil panen dari tanaman yang menggunakan bibit bioteknologi dibandingkan dengan yang biasa,” ucapnya menambahkan kelebihan bibit DK95R.
Dengan panen lebih, penggunaan bibit ini mampu meningkatkan pendapatan petani hingga 30 persen dibandingkan dengan bibit jagung biasa.
“Bibit jagung bioteknologi ini tidak membutuhkan banyak air dalam pengelolaannya, sehingga lebih efisien dalam penggunaan air,” katanya menambahkan.
Namun, ia menegaskan bahwa keberhasilan di satu wilayah belum cukup untuk menjamin terwujudnya ketahanan pangan nasional.
“Perjalanan ini masih panjang. Oleh sebab itu kami akan terus melakukan edukasi, pendampingan kepada petani, serta terus berinovasi untuk mengembangkan bibit lain yang tahan terhadap dampak iklim lainnya seperti banjir atau kekeringan,” pungkas Yuchen.
Melalui pendekatan bioteknologi yang berfokus pada efisiensi sumber daya dan peningkatan hasil tani, inovasi ini tidak hanya menjawab tantangan ketahanan pangan, tetapi juga membuka jalan menuju sistem pertanian yang lebih berkelanjutan secara ekologis dan sosial.
Baca juga: Sistem Tanam Padi Rendah Karbon, Apakah Memungkinkan?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya