JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap mencapai 445,46 megawatt (MW) hingga Mei 2025.
Menurut Sub Koordinator Kelaikan Teknik Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wildan Fujiansah, total pelanggan PLN yang menggunakan listrik dari PLTS atap 10.632 orang.
"Dari jumlah pelanggan ini, terbanyak dari sektor rumah tangga. Jadi ada sekitar 63 persen. Sementara kalau dari sisi kapasitas terbanyak dari sektor industri, yaitu sebesar 72 persen," ujar Wildan dalam acara Peluncuran Solar Academy Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis (19/6/2025).
Ia menyampaikan, Kementerian ESDM telah menetapkan kuota untuk PLTS atap khusus sebesar 3,9 GW pada 2024-2025.
Baca juga: 300 GW Energi Bersih Didapat jika Ubah Lahan Tambang Jadi PLTS, 59 GW dari Indonesia
Kendati realisasinya baru mencapai 445,46 MW, kini pelanggan PLTS atap meningkat 17 kali lipat dari 2018-2025. Sementara, kapasitasnya mencapai 293 kali lipat.
"Kalau secara geografis memang wilayah yang paling banyak menginstall PLTS atap adalah wilayah Jawa, Bali dari Sumatera. Itu semata-mata karena memang infrastrukturnya yang sudah didukung, dan kesadaran lingkungan yang relatif lebih tinggi," papar Wildan.
Sedangkan wilayah Indonesia timur terutama Sulawesi dan Papua mulai menerapkan pendekatan PLTS off grid dan hybrid. Wildan mengatakan, sementara ini total pemanfaatan PLTS atap, PLTS apung, dan PLTS tapak sebesar 1.087 MW.
Keberadaan PLTS juga membuka peluang pekerjaan hijau atau green jobs bagi masyarakat. Hal ini dituangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034.
"Kalau khusus untuk PLTS, diperkirakan dapat menciptakan sekitar 350.000, pekerjaan menjadikannya sektor EBT dengan potensi serapan tenaga kerja tertinggi," jelas dia.
Baca juga: Pertamina Resmikan PLTS Atap di Balikpapan, Bisa Pangkas 3.798 Ton CO2 per Tahun
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pakar Bidang Riset & Teknologi Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Arya Rezavidi, menuturkan inovasi dan teknologi menjadi tantangan bagi pemanfaatan PLTS di Indonesia. Pasalnya, segian besar panel surya masih diimpor dari China.
"Tantangannya untuk kita adalah bagaimana kita tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi juga harus mulai mengembangkan teknologinya di Indonesia," kata Arya.
Dia memproyeksikan, Indonesia akan menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara. Sehingga pemerintah juga perlu terus memperbaiki regulasi.
"Masalah teknologi menjadi tantangan karena dalam beberapa tahun belakangan, banyak masuk industri besar dari China yang mungkin kelompok tiruan mulai investasi di Indonesia," ucap Arya.
"Bahkan hari ini Trina Solar itu meresmikan pabriknya di Kendal dan akan beberapa lagi nanti pabrik dari China yang masuk ke Indonesia," imbuh dia.
Baca juga: Membangun PLTS Bukan Sekadar Dipasang lalu Ditinggal
Ia lantas mendorong agar sumber daya manusia (SDM) mendaoatkan pendidikan dari level akademi hingga teknisi untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
"Inilah tantangan untuk kita. Bagaimana kita tidak hanya sekedar pengguna, tetapu kita juga ikut berpartisipasi dalam mengeluarkan teknologi," ungkap Arya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya