ISU penjualan empat pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau (Kepri), melalui situs asing kembali mencuat dan mengguncang kesadaran kita sebagai bangsa maritim.
Dibalut dalam narasi “investasi”, praktik ini justru mengancam kedaulatan dan merusak masa depan ekologis kawasan pesisir.
Padahal, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 secara tegas melarang aktivitas pertambangan dan komersialisasi penuh di pulau-pulau kecil.
Namun, mengapa praktik-praktik yang menyerempet wilayah abu-abu hukum ini terus berulang?
Kepulauan Riau adalah salah satu provinsi paling strategis di Indonesia: 96 persen wilayahnya adalah laut, dan memiliki lebih dari 2.400 pulau.
Letaknya sangat dekat dengan jalur perdagangan internasional Selat Malaka, serta bertetangga langsung dengan Singapura dan Malaysia.
Baca juga: 4 Pulau Anambas Diiklankan di Situs Asing: Begini Kronologi Dugaan Penjualannya
Kepri bukan hanya etalase maritim Indonesia, tetapi juga gerbang utama bagi wisatawan mancanegara—terutama melalui Kota Batam, yang menempati posisi ketiga pintu masuk turis setelah Bali dan Jakarta (BPS Kepri, 2023).
Namun, hingga hari ini, potensi itu belum sepenuhnya terkelola. Infrastruktur dasar antarpulau masih minim. Aksesibilitas rendah.
Dan yang lebih mengkhawatirkan, orientasi pembangunan masih berkutat pada ekstraksi sumber daya—pasir, bauksit, dan lainnya—alih-alih konservasi dan wisata berkelanjutan.
Kasus terbaru di Anambas menggambarkan kegamangan tersebut. Empat pulau—Pulau Rintan, Tekongsendok, Lakok, dan Mala—disebut-sebut dipasarkan lewat situs luar negeri sebagai “pulau pribadi”.
Padahal, Perda Kabupaten Anambas No. 3 Tahun 2024 telah menetapkan pulau-pulau tersebut sebagai kawasan pariwisata.
Pemerintah pusat memang telah menegaskan bahwa tidak ada regulasi di Indonesia yang membenarkan penjualan pulau. Namun, kenyataan bahwa pulau-pulau itu masih terpampang dalam laman digital asing adalah sinyal lemahnya pengawasan dan koordinasi.
Di tengah polemik ini, solusi yang inklusif dan berkelanjutan sebenarnya ada: Pariwisata berbasis komunitas (Community Based Tourism - CBT).
Ini bukan hanya tentang membuka akses pariwisata bagi investor besar, melainkan memberi ruang bagi warga lokal untuk berperan aktif sebagai pelaku utama—sebagai pemandu wisata, pengelola homestay, pelaku UMKM, hingga penjaga ekosistem.
Dengan pendekatan ini, manfaat ekonomi tidak menetes ke bawah secara samar, melainkan tersebar secara adil. Rasa kepemilikan warga terhadap pulau pun akan meningkat, menjadikan mereka mitra aktif dalam menjaga lingkungan.
Baca juga: Berkaca dari Polemik 4 Pulau Aceh: Presiden (Lagi) Pahlawannya?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya