JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Abdul Haris Mustari, menyoroti ketidaktegasan aparat penegak hukum terkait penanganan kasus perburuan harimau sumatera.
Padahal, perburuan dan penurunan luas habitat karena alih fungsi lahan menjadi faktor utama yang menyebabkan populasi satwa dilindungi itu kian tergerus.
Dia menyebut, data survei terakhir menunjukkan jumlah harimau di habitat aslinya atau in situ tak lebih dari 350 ekor. Sedangkan di luar habitatnya atau ex situ di dalam maupun luar negeri lebih dari 400 ekor.
"Iya (ada ketidaktegasan), jadi para pemburu kalau misalnya ketangkap dimasukkan ke pengadilan hukumannya sangat ringan. Jadi belum ada sinkronisasi antara aparat penegak hukum baik polisi hutan, kejaksaan, maupun kehakiman dalam hal melihat itu," ujar Abdul saat dihubungi, Senin (28/7/2025).
Baca juga: Kearifan Lokal sebagai Jembatan Koeksistensi Manusia dan Harimau Sumatra
Dia menjelaskan, pemburu kerap menangkap harimau dengan jerat yang dipasang di areal hutan. Ketika tertangkap, mereka kerap berdalih bahwa alat tersebut untuk menjerat babi hutan yang merupakan mangsa utama harimau.
Ia pun menilai, vonis hukuman yang ringan memicu banyaknya pelaku perburuan liar.
"Apalagi memang kadang-kadang yang terlibat justru oknum aparat sendiri, yang memiliki koleksi spesimen di mana harimau sudah ditangkap, mati, lalu diawetkan. Spesimen itu para petinggi-petinggi militer maupun kepolisian di rumahnya dipasang, ada spesimen harimau," jelas Abdul.
"Termasuk politisi top-top kita, dengan tidak merasa bersalah memamerkan isi rumahnya di mana di situ ada spesimen harimau sumatera, dan mereka merasa bangga memperlihatkan satwa yang top priority untuk dilindungi," imbuh dia.
Adapun status harimau termasuk critically endangered atau kritis berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN). Namun, motif ekonomi yang masih berangsur hingga kini memicu terus terjadinya perdagangan spesimen maupun bagian tubuh hewan tersebut.
Baca juga: Pelajaran dari Riset di India: Jaga Harimau Juga Selamatkan Hutan dan Iklim
"Di luar negeri, misalnya, untuk traditional chinese medicine itu kan ke Taiwan, China, Korea, dan sebagainya dengan sugesti tertentu, dianggap memiliki potensi khasiat tertentu padahal belum tentu kebenarannya," ucap Abdul.
Abdul berpendapat, persoalan utama dalam perlindungan harimau bukan hanya soal regulasi tetapi pada lemahnya koordinasi dan integrasi antar lembaga penegak hukum.
Karenanya, dia mendesak agar penegakan hukum dalam perlindungan harimau sumatera dilakukan lebih terintegrasi antara Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Lingkungan Hidup, TNI, Polri, serta kejaksaan.
"Kesamaan persepsi itu yang belum terjadi sebenarnya, bagaimana pentingnya melindungi satwa yang satu-satunya. Dari tiga sub spesies harimau yang ada di Indonesia tinggal satu, harimau sumatera populasinya semakin menurun, jumlahnya tidak lebih dari 350 ekor di habitat aslinya," sebut dia.
Berdasarkan catatan, Polres Aceh Tengah menggagalkan jaringan perdagangan ilegal kulit dan tulang belulang harimau sumatera pada Maret 2025 lalu. Lima tersangka ditangkap, dengan dua orang berperan sebagai perantara penjualan dan tiga lainnya terlibat dalam perburuan dan pembunuhan harimau.
Baca juga: Populasi Harimau Turun 10 Persen dari 2008 - 2017, Manusia Ancaman Terbesar
Data menunjukkan selama 2016–2025, ada 19 kasus perdagangan bagian tubuh harimau di Aceh. Kemudian, Kemenhut mengungkap perdagangan bagian tubuh satwa dilindungi via media sosial berupa ikat pinggang dari kulit harimau.
Pelaku berinisial AS ditangkap di Gresik, Jawa Timur pada Februari 2025. Lalu, seekor harimau sumatera ditemukan terjerat di Desa Tibawan, Rokan Hulu, Riau Maret 2025.
Tim gabungan menangkap enam tersangka yang terlibat perburuan. Pihaknya menyita barang bukti berupa parang, tali jerat, tulang serta kulit harimau.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya