JAKARTA, KOMPAS.com — Upaya pemanfaatan kawasan hutan industri sebagai habitat konservasi gajah dinilai berpotensi mencegah konflik sekaligus memulihkan populasi, selama dilakukan secara serius dan berkelanjutan.
Hal ini disampaikan oleh Ekolog Satwa Liar sekaligus Research Fellow di Institute for Sustainable Earth & Resources, FMIPA Universitas Indonesia, Sunarto.
Ia juga menyampaikan apresiasi atas langkah ini, namun mengingatkan bahwa keberhasilan konservasi tidak cukup hanya dengan luasan lahan.
Menurutnya, secara umum, area 90.000 hektare tergolong luas jika dikelola dengan baik. Namun bagi gajah, yang memiliki home range atau wilayah jelajah alami sangat luas, kawasan sebesar ini bisa jadi belum cukup memadai.
“Terlebih jika kita mempertimbangkan bahwa gajah hidup dalam beberapa tingkatan sosial, mulai dari kelompok kecil kerabat dekat hingga klan yang dapat berjumlah ratusan individu,” ujar Sunarto kepada Kompas.com, Senin (28/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa gajah jantan biasanya hidup terpisah dan bergerak seperti “satelit” yang mengelilingi, sesekali mendekat ke kelompok betina yang terus berpindah tempat.
Baca juga: Pakar Satwa Liar Ungkap, Lahan HTI Prabowo Perlu Restorasi Sebelum Jadi Rumah Gajah
Karena itu, keterhubungan wilayah konservasi ini dengan habitat lain di sekitarnya menjadi sangat krusial dan harus dikelola secara terintegrasi.
Dari sudut pandang keberlanjutan, Sunarto mengingatkan bahwa jika hanya bersifat simbolik dan seremonial tanpa kelanjutan yang nyata, inisiatif ini justru bisa menjadi 'bom waktu'.
Artinya, jika restorasi habitat tidak dilakukan secara utuh dan berkesinambungan, bukan hanya tujuan konservasi yang gagal dicapai, tapi juga dapat memperbesar tekanan terhadap ruang hidup gajah di masa depan.
Kondisi ini bisa memicu konflik baru antara satwa dan manusia, seperti gajah yang merambah perkebunan warga, atau meningkatnya perburuan akibat habitat yang semakin terfragmentasi.
“Komitmen jangka panjang, kerja sama, serta dukungan multipihak menjadi kunci keberhasilan konservasi,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa pendekatan konservasi perlu dibangun di atas prinsip 3M: mutual trust, mutual respect, dan mutual benefit, agar benar-benar menjadi langkah nyata untuk pelestarian spesies gajah, khususnya gajah Sumatra yang terancam punah.
Baca juga: Prabowo Serahkan HTI untuk Konservasi Gajah, Ahli Jelaskan Cara Membuatnya Efektif
Prinsip tersebut tidak hanya berlaku antar-stakeholder, tetapi juga dalam relasi antara manusia dan satwa. Menurutnya, manusia dan gajah saling membutuhkan. Karena itu, manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian satwa asli Indonesia tersebut.
Di sisi lain, keterlibatan komunitas lokal dinilai sangat penting dalam mitigasi konflik dan perlindungan habitat, terutama di wilayah-wilayah sensitif.
“Masyarakat lokal semestinya menjadi subyek utama. Mereka harus dipastikan tidak dirugikan, bahkan sedapat mungkin menjadi pihak yang paling diuntungkan. Pihak-pihak lain cukup mendukung,” ujar Sunarto.
Ke depan, ia berharap upaya konservasi ini bisa benar-benar diwujudkan dan memberi hasil nyata. Untuk itu, kerja sama dari berbagai pihak mutlak diperlukan.
“Tidak mungkin hanya dari satu arah saja. Leadership dari pemerintah dan contoh nyata dari sektor swasta bisa menjadi pemicu, katalis, sekaligus penyemangat,” pungkasnya.
Baca juga: Gajah Dianggap Teman oleh Mamalia Hutan, Kepunahannya Picu Kerusakan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya