Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Temuan BFA: Konsumsi Ikan Tinggi, Stunting Tak Turun, Salah Kaprah Gizi Sebabnya

Kompas.com, 6 Agustus 2025, 19:38 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Temuan Blue Food Assessment (BFA) mengungkap bahwa konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih belum optimal. Salah satu penyebab utamanya adalah persepsi yang keliru soal kandungan gizi berbagai jenis ikan.

Masyarakat cenderung memilih jenis ikan tertentu seperti tuna, salmon, atau udang, yang dianggap lebih bergizi atau bergengsi. Padahal, ikan lokal seperti kembung memiliki kandungan gizi yang tak kalah, bahkan bisa lebih unggul.

"Kita cenderung kepada satu jenis ikan tertentu, seperti tuna, salmon, kemudian udang yang sebenarnya nilai gizinya mungkin, apabila dibandingkan dengan (ikan) kembung, ini masih kalah," ujar Leonardo A. A. Teguh Sambodo, Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas.

Akibatnya, potensi gizi dari ragam ikan lokal tidak termanfaatkan secara maksimal untuk memperbaiki status kesehatan masyarakat, termasuk dalam penurunan angka stunting.

"Karena provinsi-provinsi yang memiliki konsumsi pangan ikan tinggi, ternyata stuntingnya juga tinggi, jadi ada tantangan untuk menyelesaikan masalah nutrisi ini, bagaimana juga mengarahkan konsumsi ikan yang lebih tepat, sehingga pengurangan stunting ini bisa terus didorong," tutur Leonardo dalam peluncuran BFA dan Indonesia Blue Economy Index (IBEI) yang diadakan Bappenas RI, Rabu (6/8/2025).

Baca juga: Bappenas: Mengonsumsi Ikan Lebih Ramah Lingkungan ketimbang Hewan Ruminansia

Selain miskonsepsi soal gizi, rendahnya konsumsi ikan juga dipicu oleh kesenjangan akses terhadap protein laut, terutama di wilayah pedalaman dan pegunungan. Leonardo menekankan pentingnya penguatan rantai dingin (cold chain) agar distribusi ikan dari pesisir bisa menjangkau daerah terpencil, seperti Papua Pegunungan yang tidak memiliki akses laut.

Dari sisi ekologi, BFA juga menyoroti perlunya menciptakan ruang laut yang adil dan minim dampak, termasuk menjaga ekosistem pesisir dan memastikan komunitas lokal dapat mengelola sumber daya secara berkelanjutan.

"Bagaimana komunitas diberi akses dan kesempatan untuk mengelola sumber daya, ini merupakan strategi yang sama baiknya pada saat kita mendorong konservasi lingkungan," ucapnya.

Perhatian juga diarahkan pada hak masyarakat pesisir dan kelompok marjinal dalam memanfaatkan sumber daya kelautan secara setara. Di beberapa wilayah, konflik antar kepentingan, seperti antara tambang dan pariwisata bahari atau antara sektor wisata dan nelayan, masih menjadi tantangan.

BFA diharapkan menjadi instrumen untuk memperluas pemahaman global mengenai pentingnya pangan biru (blue food) dan berbagai tantangan yang menyertainya.

Di Indonesia, penilaian BFA tidak hanya mencakup pilar global seperti nutrisi, lingkungan, keadilan, dan produktivitas, tetapi juga dimensi regulasi, ekonomi sirkular, logistik kepulauan, hingga potensi digitalisasi teknologi.

"Juga bagaimana kemajuan dari digitalisasi teknologi akan turut membantu menjadi game changer bagi pengembangan blue food," ujar Leonardo.

Baca juga: Menteri KKP: Perikanan Tangkap Harus Dekati Nol, Misi 1.100 Kampung Nelayan Strateginya

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
 RI Belum Maksimalkan  Pemanfaatan Potensi Laut untuk Atasi Stunting
RI Belum Maksimalkan Pemanfaatan Potensi Laut untuk Atasi Stunting
LSM/Figur
Langkah Membumi Ecoground 2025, Gaya Hidup Sadar Lingkungan Bisa Dimulai dari Ruang Publik
Langkah Membumi Ecoground 2025, Gaya Hidup Sadar Lingkungan Bisa Dimulai dari Ruang Publik
Swasta
Target Swasembada Garam 2027, KKP Tetap Impor jika Produksi Tak Cukup
Target Swasembada Garam 2027, KKP Tetap Impor jika Produksi Tak Cukup
Pemerintah
Kebijakan Mitigasi Iklim di Indonesia DInilai Pinggirkan Peran Perempuan Akar Rumput
Kebijakan Mitigasi Iklim di Indonesia DInilai Pinggirkan Peran Perempuan Akar Rumput
LSM/Figur
KKP: 20 Juta Ton Sampah Masuk ke Laut, Sumber Utamanya dari Pesisir
KKP: 20 Juta Ton Sampah Masuk ke Laut, Sumber Utamanya dari Pesisir
Pemerintah
POPSI: Naiknya Pungutan Ekspor Sawit untuk B50 Bakal Gerus Pendapatan Petani
POPSI: Naiknya Pungutan Ekspor Sawit untuk B50 Bakal Gerus Pendapatan Petani
LSM/Figur
Suhu Global Tetap Tinggi, meski Siklus Alami Pemanasan El Nino Absen
Suhu Global Tetap Tinggi, meski Siklus Alami Pemanasan El Nino Absen
Pemerintah
Rantai Pasok Global Bisa Terganggu akibat Cuaca Ekstrem
Rantai Pasok Global Bisa Terganggu akibat Cuaca Ekstrem
Swasta
DLH Siapkan 3.395 Petugas Kebersihan, Angkut Sampah Saat Tahun Baru Jakarta
DLH Siapkan 3.395 Petugas Kebersihan, Angkut Sampah Saat Tahun Baru Jakarta
Pemerintah
Bupati Agam Beberkan Kondisi Pasca-Banjir Bandang
Bupati Agam Beberkan Kondisi Pasca-Banjir Bandang
Pemerintah
Banjir Sumatera Berpotensi Terulang Lagi akibat Kelemahan Tata Kelola
Banjir Sumatera Berpotensi Terulang Lagi akibat Kelemahan Tata Kelola
LSM/Figur
INDEF: Struktur Tenaga Kerja di Indonesia Rentan Diganti Teknologi
INDEF: Struktur Tenaga Kerja di Indonesia Rentan Diganti Teknologi
LSM/Figur
Perangi Greenwashing, Industri Fashion Segera Luncurkan Paspor Produk
Perangi Greenwashing, Industri Fashion Segera Luncurkan Paspor Produk
Pemerintah
Bencana Iklim 2025 Renggut Lebih dari Rp 2.000 Triliun, Asia Paling Terdampak
Bencana Iklim 2025 Renggut Lebih dari Rp 2.000 Triliun, Asia Paling Terdampak
LSM/Figur
BNPB Catat 3.176 Bencana Alam di Indonesia 2025, Banjir dan Longsor Mendominasi
BNPB Catat 3.176 Bencana Alam di Indonesia 2025, Banjir dan Longsor Mendominasi
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau