KOMPAS.com – Temuan Blue Food Assessment (BFA) mengungkap bahwa konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih belum optimal. Salah satu penyebab utamanya adalah persepsi yang keliru soal kandungan gizi berbagai jenis ikan.
Masyarakat cenderung memilih jenis ikan tertentu seperti tuna, salmon, atau udang, yang dianggap lebih bergizi atau bergengsi. Padahal, ikan lokal seperti kembung memiliki kandungan gizi yang tak kalah, bahkan bisa lebih unggul.
"Kita cenderung kepada satu jenis ikan tertentu, seperti tuna, salmon, kemudian udang yang sebenarnya nilai gizinya mungkin, apabila dibandingkan dengan (ikan) kembung, ini masih kalah," ujar Leonardo A. A. Teguh Sambodo, Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas.
Akibatnya, potensi gizi dari ragam ikan lokal tidak termanfaatkan secara maksimal untuk memperbaiki status kesehatan masyarakat, termasuk dalam penurunan angka stunting.
"Karena provinsi-provinsi yang memiliki konsumsi pangan ikan tinggi, ternyata stuntingnya juga tinggi, jadi ada tantangan untuk menyelesaikan masalah nutrisi ini, bagaimana juga mengarahkan konsumsi ikan yang lebih tepat, sehingga pengurangan stunting ini bisa terus didorong," tutur Leonardo dalam peluncuran BFA dan Indonesia Blue Economy Index (IBEI) yang diadakan Bappenas RI, Rabu (6/8/2025).
Baca juga: Bappenas: Mengonsumsi Ikan Lebih Ramah Lingkungan ketimbang Hewan Ruminansia
Selain miskonsepsi soal gizi, rendahnya konsumsi ikan juga dipicu oleh kesenjangan akses terhadap protein laut, terutama di wilayah pedalaman dan pegunungan. Leonardo menekankan pentingnya penguatan rantai dingin (cold chain) agar distribusi ikan dari pesisir bisa menjangkau daerah terpencil, seperti Papua Pegunungan yang tidak memiliki akses laut.
Dari sisi ekologi, BFA juga menyoroti perlunya menciptakan ruang laut yang adil dan minim dampak, termasuk menjaga ekosistem pesisir dan memastikan komunitas lokal dapat mengelola sumber daya secara berkelanjutan.
"Bagaimana komunitas diberi akses dan kesempatan untuk mengelola sumber daya, ini merupakan strategi yang sama baiknya pada saat kita mendorong konservasi lingkungan," ucapnya.
Perhatian juga diarahkan pada hak masyarakat pesisir dan kelompok marjinal dalam memanfaatkan sumber daya kelautan secara setara. Di beberapa wilayah, konflik antar kepentingan, seperti antara tambang dan pariwisata bahari atau antara sektor wisata dan nelayan, masih menjadi tantangan.
BFA diharapkan menjadi instrumen untuk memperluas pemahaman global mengenai pentingnya pangan biru (blue food) dan berbagai tantangan yang menyertainya.
Di Indonesia, penilaian BFA tidak hanya mencakup pilar global seperti nutrisi, lingkungan, keadilan, dan produktivitas, tetapi juga dimensi regulasi, ekonomi sirkular, logistik kepulauan, hingga potensi digitalisasi teknologi.
"Juga bagaimana kemajuan dari digitalisasi teknologi akan turut membantu menjadi game changer bagi pengembangan blue food," ujar Leonardo.
Baca juga: Menteri KKP: Perikanan Tangkap Harus Dekati Nol, Misi 1.100 Kampung Nelayan Strateginya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya