KOMPAS.com - Di belantara Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), tradisi menenun kain Iban bukan sekadar kerajinan tangan, melainkan denyut nadi identitas budaya suku Dayak Iban.
Kain tenun tradisional itu memiliki peran sentris lantaran kerap digunakan dalam upacara adat suku Dayak Iban. Adapun motif khas Tenun Iban terinspirasi dari tumbuhan, hewan, fenomena alam, hewan mitologi, manusia kayangan, dan inspirasi dari alam mimpi.
Sebagai perusahaan yang berkomitmen terhadap pelestarian budaya dengan mendukung penguatan ekonomi sirkular komunitas secara berkelanjutan di Tanah Air, Kawan Lama Group melalui Yayasan Kawan Lama menyelenggarakan program “Aram Bekelala Tenun Iban” di empat dusun di Kapuas Hulu.
Kawan Lama Group yang tumbuh bersama Indonesia selama lebih dari 70 tahun mengambil nama dari bahasa Iban “Aram Bekelala Tenun Iban”. Nama ini memiliki arti “Mari Berkenalan dengan Tenun Iban”.
Baca juga: Kawan Lama Dukung Perluasan Pasar Produk Lokal di Inabuyer Expo 2023
Inisiatif ini berfokus pada pemberdayaan perempuan sebagai upaya mendukung peningkatan ekonomi komunitas, sekaligus menjaga kelestarian budaya Tenun Iban dan alam di Kapuas Hulu.
Menggandeng Cita Tenun Indonesia, program tersebut mencakup pelatihan, pengembangan motif dan desain tenun, edukasi penggunaan pewarna alami, pembekalan literasi keuangan, serta strategi pemasaran produk.
Ketua Yayasan Kawan Lama, Tasya Widyakrisnadi mengatakan bahwa dengan menginisiasi kolaborasi multipihak, program tersebut merupakan bagian dari komitmen Kawan Lama Group dalam mendukung keberlanjutan budaya Indonesia melalui pemberdayaan dan peningkatan ekonomi komunitas Dayak Iban.
“Kami berharap agar program ini dapat mengenalkan tenun Dayak Iban kepada masyarakat luas sekaligus mampu menghadirkan nilai tambah ekonomi tanpa menghilangkan pakem tradisi yang diwariskan secara turun temurun,” ujar Tasya.
Tasya memaparkan, pelatihan tersebut dilaksanakan di empat dusun di Kapuas Hulu, yakni Mungguk, Lauk, Kerugun, dan Sungai Utik. Di setiap dusun, Yayasan Kawan Lama memberikan pelatihan intensif untuk lima penenun perempuan dengan pendekatan training of trainers (ToT).
Dalam program tersebut, Yayasan Kawan Lama memberikan pelatihan kepada perwakilan penenun perempuan dari masing-masing dusun. Tujuannya, agar mereka dapat meneruskan ilmu tersebut kepada komunitas penenun di dusunnya masing-masing.
“Melalui pelatihan ini, kami ajarkan bagaimana menggunakan kulit rambutan, rengat, hingga air karat sebagai bahan pewarna yang ramah lingkungan. Penggunaan pewarna alami ini penting bagi kesehatan ibu-ibu penenun dan pemakai kainnya serta turut menjaga kelestarian alam,” tuturnya.
Baca juga: Kawan Lama Gelar Aksi Donor Darah Serentak di 30 Kota Indonesia
Tasya menambahkan, pemilihan Kapuas Hulu sebagai lokasi pelatihan bukan tanpa alasan. Wilayah ini memiliki keterbatasan akses infrastruktur dan informasi sehingga perlu didampingi secara langsung.
Menurutnya, Tenun Iban dapat menjadi alternatif sumber penghasilan potensial bagi ibu-ibu di Kapuas Hulu. Dengan bekerja sebagai penenun, ibu-ibu yang sebelumnya bekerja di ladang kini bisa bertahan di kampung halaman sembari tetap menjalankan peran sebagai ibu dan pelestari budaya.
“Selain menjaga budaya, menenun kain Iban juga bisa menjadi sumber penghasilan. Kami ingin anak-anak perempuan di sini kelak bangga menenun karena bisa mewarisi budaya sekaligus sebagai jalan penghidupan,” kata Tasya.
Tasya tak menampik, penenun kain Iban kerap menghadapi masalah pemasaran dan distribusi. Untuk menjawab kendala tersebut, Kawan Lama Group hadir dengan kekuatan ekosistem ritelnya yang telah melayani masyarakat Indonesia selama lebih dari 70 tahun.
Nantinya, produk hasil tenun akan dipasarkan melalui salah satu unit bisnis Kawan Lama Group, yaitu Pendopo.
Pendopo sendiri merupakan rumah kurasi bagi lebih dari 12.000 produk lokal yang telah bermitra dengan lebih dari 300 UMKM di seluruh Nusantara. Jangkauan pemasaran juga akan diperluas melalui solusi omnichannel milik Kawan Lama Group, yakni ruparupa.
Selain itu, Yayasan Kawan Lama juga menjalin kolaborasi dengan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) dalam aspek tata kelola, guna mendukung keberlanjutan program serta mendorong replikasi inisiatif ini di wilayah-wilayah lain yang memiliki potensi serupa.
Melalui inisiatif tersebut, Tasya ingin agar karya penenun kain Iban memiliki akses pasar yang lebih luas, tidak hanya sebatas pada pameran atau festival. Dengan demikian, tenun Iban bisa digunakan oleh masyarakat luas dan membantu peningkatan ekonomi masyarakat Dayak Iban.
Dalam menjalankan aksi keberlanjutan ini, Yayasan Kawan Lama ingin menyasar daerah yang belum banyak tersentuh pelatihan peningkatan kualitas produksi. Apalagi, masyarakat di sini punya potensi luar biasa sehingga hanya memerlukan ruang dan dukungan.
Yayasan Kawan Lama, lanjut Tasya, tidak bisa menjalankan program “Aram Bekelala Tenun Iban” sendiri. Ia pun mengapresiasi sejumlah pihak yang turut menyukseskan program ini, yakni Cita Tenun Indonesia, desainer Wilsen Willim, serta serta Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).
Secara khusus, kolaborasi dengan Wilsen Willim memungkinkan para peserta untuk membuat tenun Iban yang tidak hanya digunakan saat acara khusus, tapi juga dalam aktivitas masyarakat sehari-hari.
“Kami juga berkolaborasi dengan LTKL yang membantu mendorong pemerintah supaya program ini bisa berkelanjutan dan diaplikasikan ke daerah lain,” tuturnya.
Tumenggung Jalan Lintang Hendri Kus Bersono Riang menjelaskan, keunikan Tenun Iban terletak pada proses pembuatannya yang masih menggunakan pewarna alami dari hutan sekitar.
Pewarna tenun diambil dari alam karena hutan di Kapuas Hulu masih alami. Meski demikian, proses pemetikan bahan baku tidak boleh dilakukan sembarangan.
Baca juga: Kawan Lama Gelar Aksi Donor Darah Serentak di 30 Kota Indonesia
“Harus ada sesaji sebelum memetik bunga atau daun," ujar Hendri.
Hendri melanjutkan bahwa sebelum mulai menenun, perempuan Iban akan melakukan ritual agar tidak mengganggu roh-roh leluhur. Setiap motif pun bukan sekadar indah, melainkan punya makna filosofis dan spiritual yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Ia menjelaskan, tenun tersebut dulunya digunakan untuk upacara adat, seperti gawai panen, sirat (kain untuk upacara), atau pakaian sesaji. Bahkan, tenun ini dahulu tidak diperjualbelikan dan hanya digunakan untuk kebutuhan keluarga. Kini, kain tersebut telah menjadi sumber penghidupan ibu-ibu di kampung.
Hendri mengapresiasi program “Aram Bekelala Tenun Iban” yang digagas Kawan Lama Group. Menurutnya, program ini mampu meningkatkan keterampilan perajin di kampung dengan memberikan pemahaman tentang variasi motif, pewarna alami, cara menghitung modal, dan menentukan harga jual.
“Ibu-ibu senang sekali. Selain mendapatkan bimbingan teknis, mereka juga mendapatkan akses untuk menjual karyanya. Dulu, ibu-ibu harus berebut jika ada pembeli yang datang. Sekarang, karya mereka bisa dipasarkan dan menjangkau konsumen yang lebih luas.”
Salah satu perajin Tenun Iban di Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kalbar, Anastasia Cangke (37), mengatakan bahwa Tenun Iban bukan sekadar kain, melainkan jati diri masyarakat Dayak Iban.
Menurutnya, tenun memiliki makna mendalam dalam setiap aspek kehidupan suku Dayak Iban. Pasalnya, setiap momen penting masyarakat Dayak Iban selalu melibatkan kain tenun, mulai saat gawai (pesta adat) hingga upacara adat.
“Kalau tenun hilang, kami sebagai orang Iban pun hilang identitasnya. Karena itu, kami usahakan tenun ini tidak boleh hilang sampai kapan pun,” katanya tegas.
Motif tenun, kata Anastasia, juga memiliki aturan sakral tersendiri. Menurutnya, beberapa motif yang menggambarkan makhluk hidup tidak boleh sembarangan.
Misalnya, penenun yang masih muda atau belum berpengalaman dilarang menggambar motif manusia atau buaya. Ada tahapan dan syarat spiritual yang harus dipenuhi agar motif tersebut bisa diturunkan.
Menurutnya, penenun yang masih pemula atau belum berpengalaman dilarang untuk menggambar motif yang bernyawa.
“Motif-motif seperti itu hanya boleh dikerjakan penenun yang sudah ‘naik tingkat’,” tuturnya.
Sementara itu, Lia Wandira (21) mengaku sudah mengenal tenun sejak usia 12 tahun. Ia belajar secara otodidak dari ibunya.
Lia menilai, ikatan antara tenun dan perempuan Iban sangat erat, seperti ibu dan anak. Ketika seseorang mengaku sebagai orang Iban, orang akan berpikir bahwa perempuan Iban pasti bisa menenun.
Lia mengaku telah menghasilkan sekitar 10 kain tenun besar. Hasil karyanya belum termasuk selendang kecil yang sering langsung terjual.
Tenun yang paling memuaskan baginya adalah Tenun Sidan. Menurutnya, tenun ini memiliki warna dan motif yang bagus sehingga memotivasi untuk menyelesaikannya.
Selain menenun, mahasiswi Sastra Inggris ini juga mengajar seni tenun dan tari di Rumah Betang. Ini dilakukan untuk memastikan pengetahuan dan keterampilan tradisional tidak terputus.
Tak berhenti di situ, ia juga memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan kekayaan budayanya. Ia sering menyiarkan kegiatan adat di media sosial, seperti kehidupan masyarakat adat dan ritual adat. Kontennya di YouTube mencakup perayaan Gawai dan Tahun Baru.
Lia berkisah, konten yang dibuatnya mendapatkan respons positif, terutama dari pemirsa di Malaysia. Ini pun mendorongnya semakin bersemangat untuk mendokumentasikan kehidupan di kampungnya lebih banyak.
“Saya ingin orang luar tahu tentang tenun kami melalui tangan anak-anak muda Dayak Iban sendiri. Saya wujudkan itu lewat konten media sosial,” ungkapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya