JAKARTA, KOMPAS.com - Perundingan Perjanjian Plastik Global (INC-5.2) digelar di Jenewa, Swiss, pada 5-14 Agustus 2025 sebagai komitmen 170 negara anggota untuk mengakhiri polusi plastik.
Tujuan pertemuan kali ini melanjutkan konferensi yang dipimpin Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) tahun lalu di Busan karena berujung gagal mencapai kesepakatan.
Mengutip DW, Sabtu (9/8/2025), sekitar 100 negara mendukung perjanjian ambisius yang meliputi pengurangan produksi plastik. Ini termasuk negara-negara Afrika, Amerika Latin, Jerman, serta Uni Eropa.
Namun, koalisi negara produsen plastik dan minyak seperti Rusia, Iran, dan Arab Saudi, justru menghalangi regulasi produksi yang lebih ketat.
Baca juga: Perundingan Plastik Global Kritis, Negara Minyak Ganggu Konsensus
"Mereka ingin melanjutkan produksi seperti biasa dan mencegah kesepakatan yang membatasi permintaan, misalnya larangan produk plastik sekali pakai," ujar perwakilan WWF, Florian Titze.
Dia menyebut, industri plastik maupun negara yang mendapat untung terbesar melihat krisis plastik sebagai masalah pengelolaan sampah yang buruk. Karenanya, mereka ingin Perjanjian Plastik Global berfokus pada pengumpulan, edukasi konsumen, hingga meningkatkan daur ulang.
Direktur Asosiasi Industri Plastik Eropa, Virginia Janssens, menentang pembatasan produksi plastik primer secara global.
Ia menegaskan industri plastik serius menghadapi masalah pencemaran. Akan tetapi, pihaknya membutuhkan kerja sama lintas sektor termasuk dengan pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, ahli biologi laut dari Alfred Wegener Institut, Melanie Bergmann, menilai daur ulang ataupun pengelolaan sampah bukanlah jalan keluar untuk menekan jumlahnya.
"Jika jumlah plastik terus bertambah setiap tahun, kita perlu sistem daur ulang dan pengelolaan sampah yang lebih besar. Sistem di negara kaya saja sudah kewalahan,” jelas Bergmann.
Di Jerman, misalnya, yang mana pemerintah mengalokasikan 16 miliar euro per tahun atau sekitar 0,4 persen produk domestik bruto (PDB).
Baca juga: Plastik Bikin Boncos, Kerugiannya Tembus 1,5 Triliun Dollar AS
"Perjanjian ini adalah kesempatan bersejarah untuk mengendalikan masalah plastik," kata Bergmann.
Dalam negosiasi, Uni Eropa kemungkinan mengaitkan dukungan finansial ke negara berkembang dengan komitmen pengurangan produksi plastik.
Aleksandar Rankovic, pendiri Common Initiative, memperingatkan tanggung jawab tidak hanya dibebankan pada negara produsen minyak dan plastik.
Dia mencatat, Jerman termasuk produsen plastik terbesar di Eropa dengan produksi sekitar 8 juta ton per tahun. Secara global, sepertiga plastik berasal dari Cina, hampir 20 persen dari Asia lainnya dan Amerika Utara.
Rankovic meragukan perjanjian terobosan akan lahir dalam perundingan INC-5.2. Keputusan harus diambil dengan konsensus, tetapi proporsi negara sangat berbeda. Selain delegasi negara, ratusan perwakilan industri plastik dan kimia hadir di Jenewa.
"Ada upaya lobi untuk melemahkan ilmu pengetahuan di bidang plastik dan intimidasi terhadap ilmuwan yang meneliti dampak berbahaya bahan kimia plastik," sebut Ahli Ekotoksikologi Universitas Goteborg, Bethanie Carney Almroth.
Almroth menyatakan, intimidasi dan upaya pelemahan reputasi oleh industri plastik dilakukan dengan berbagai cara termasuk pada pertemuan global.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya