KOMPAS.com - Sebuah laporan terbaru yang dipublikasikan di Lancet menyatakan bahwa 'krisis plastik' di seluruh dunia telah menimbulkan kerugian tahunan sebesar 1,5 triliun dolar AS bagi pemerintah dan pembayar pajak.
Biaya itu muncul karena mereka berusaha berupaya menangani dampak plastik yang mencemari daratan, laut, dan tubuh, yang menyebabkan cedera, disabilitas, dan kematian yang terus meningkat.
Menurut tinjauan tersebut, produksi plastik diproyeksikan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2060.
Kurang dari 10 persen dari plastik tersebut didaur ulang, dan saat ini sekitar 8.000 megaton telah mencemari planet.
Plastik diketahui menimbulkan bahaya di setiap tahapan siklus hidupnya, mulai dari proses penambangan bahan bakar fosil dan produksi, hingga penggunaannya oleh manusia dan akhirnya dibuang ke lingkungan.
"Plastik merupakan bahaya yang serius, terus berkembang, dan kurang disadari bagi kesehatan manusia dan planet," tulis laporan itu, dikutip dari NBC, Senin (4/8/2025).
Baca juga: Laporan OECD: Tanpa Kebijakan Tegas, Asia Tenggara Bakal Alami Ledakan Sampah Plastik
"Plastik menyebabkan penyakit dan kematian sejak bayi hingga usia lanjut dan berkontribusi terhadap perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati,"
Dan bahaya itu, sayangnya ditanggung secara tidak proporsional oleh populasi berpenghasilan rendan berisiko.
Ini adalah peringatan serius terbaru dari para ahli mengenai keberadaan di mana-mana dan ancaman yang ditimbulkan oleh plastik yang disebut sebagai 'materi penentu zaman.'
Para ilmuwan selama puluhan tahun memperingatkan tentang ditemukannya plastik di lautan dan sungai, kini mikroplastik juga ditemukan di dalam tubuh manusia, bahkan di air susu ibu dan jaringan otak.
Laporan Lancet ini juga menandai dimulainya sistem pemantauan baru yang disebut "The Lancet Countdown on health and plastics." Sistem ini bertujuan untuk melacak upaya politik dalam mengatasi masalah plastik.
Laporan ini diluncurkan bertepatan dengan putaran pembicaraan terbaru dan terakhir di Jenewa, di mana 175 negara sedang berupaya menyusun Perjanjian Plastik Global pertama di dunia.
Baca juga: Riset: Serat Plastik Dongkrak Emisi Industri Fashion 7,5 Persen
Para pegiat berharap pembicaraan tersebut akan menghasilkan target wajib untuk mengurangi produksi plastik.
Namun, diketahui sekelompok negara, termasuk China, Rusia, Iran, dan Arab Saudi, menentang langkah tersebut dan sebaliknya melobi agar fokus pada peningkatan daur ulang plastik.
Jurnal Lancet menyatakan pula bahwa perusahaan-perusahaan petrokimia raksasa adalah 'pemicu utama' dari meningkatnya produksi plastik. Mereka mengubah arah bisnisnya ke produk plastik sebagai akibat dari penurunan permintaan global terhadap energi fosil.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya