Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Ungkap, Perubahan Iklim Buka Jalan bagi Timbulnya Pandemi Zoonosis

Kompas.com - 20/08/2025, 19:34 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science Advances menemukan ada sembilan penyakit zoonosis yang memiliki potensi tinggi untuk menyebabkan keadaan darurat kesehatan publik yang serius.

Zoonosis atau infeksi yang ditularkan dari hewan ke manusia ini termasuk virus Zika, Ebola, dan Sindrom Pernapasan Akut Berat (SARS).

Secara keseluruhan, penelitian ini menemukan pula bahwa 9 persen dari luas daratan planet ini saat ini berisiko "tinggi" atau "sangat tinggi" terhadap wabah penyakit-penyakit tersebut.

Para penulis penelitian menemukan bahwa suhu yang lebih tinggi, peningkatan curah hujan, dan kelangkaan air merupakan pendorong utama wabah penyakit.

Dalam studinya, seperti dikutip dari Eco Business, Selasa (5/8/2025), peneliti mengumpulkan data tentang wabah penyakit zoonosis prioritas WHO selama tahun 1975-2020 dari Global Infectious Diseases and Epidemiology Network. Namun mengecualikan Covid-19 dari analisis mereka.

Baca juga: Perubahan Iklim Pengaruhi Kesehatan Ibu Hamil

Peneliti kemudian menggunakan data satelit untuk mengidentifikasi sembilan faktor risiko yang dapat memengaruhi penularan penyakit zoonosis.

Peneliti juga menggunakan model prediktif yang memanfaatkan teknik pembelajaran mesin untuk menggabungkan variabel-variabel itu.

Hal tersebut memungkinkan peneliti untuk menentukan risiko wabah iklim dari penyakit prioritas WHO di berbagai wilayah.

Kesimpulannya adalah di negara dan wilayah maju, penyakit lebih mungkin terdeteksi dan dicatat sementara di wilayah berkembang kemungkinannya kecil.

Belahan bumi selatan juga memiliki risiko wabah pandemi yang lebih tinggi daripada belahan bumi utara.

Mayoritas risiko wabah pandemi terletak di Amerika Latin dan Oseania sedangkan risiko yang sangat kecil terlihat di Eropa dan Amerika Utara.

Selain itu, peneliti menemukan bahwa 9 persen permukaan daratan dunia, berada pada risiko sangat tinggi atau tinggi terkena wabah zoonosis.

"Studi ini adalah yang pertama yang secara komprehensif mengkaji faktor-faktor pemicu bersama penyakit zoonosis dengan potensi epidemi dan pandemi dalam skala global," ungkap Penulis utama studi Dr. Angela Fanelli.

Baca juga: Cegah Wabah karena Iklim, Indonesia Perkuat Sistem Kesehatan dengan AI

Selanjutnya, peneliti juga menganalisis berbagai faktor yang memengaruhi risiko wabah zoonosis.

Peneliti mencatat bahwa suhu dan curah hujan tahunan yang lebih tinggi meningkatkan risiko wabah penyakit. Ini menunjukkan spesies inang lebih beradaptasi dengan kondisi yang lebih panas dan lebih basah.

Selain itu, defisit air juga berkaitan dengan risiko wabah tertinggi. Hal ini bisa jadi karena kelangkaan air dapat menyebabkan hewan berkumpul di sekitar sumber air yang tersisa sehingga memungkinkan patogen berpindah lebih mudah.

Perubahan penggunaan lahan juga dapat meningkatkan risiko penyakit.

Ketika orang menebang pohon di area dengan keanekaragaman hayati tinggi, mereka dapat tiba-tiba bersentuhan dengan spesies yang biasanya tidak berinteraksi dengan mereka, sehingga memberikan peluang bagi patogen untuk berpindah dari manusia ke hewan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
BMKG Perkirakan Hujan Lebat Disertai Petir Bakal Landa Sejumlah Wilayah
BMKG Perkirakan Hujan Lebat Disertai Petir Bakal Landa Sejumlah Wilayah
Pemerintah
Incar Ekonomi Tumbuh 8 Persen, RI Perlu Andalkan Peternakan dan Perikanan
Incar Ekonomi Tumbuh 8 Persen, RI Perlu Andalkan Peternakan dan Perikanan
Pemerintah
Perubahan Iklim Bisa Ganggu Kualitas Tidur, Kok Bisa?
Perubahan Iklim Bisa Ganggu Kualitas Tidur, Kok Bisa?
Pemerintah
Koalisi Manajer Aset Net Zero Kembali, Tapi Tanpa Komitmen Iklim 2050
Koalisi Manajer Aset Net Zero Kembali, Tapi Tanpa Komitmen Iklim 2050
Pemerintah
7.500 Peserta Ikuti PLN Electric Run 2025, Ajang Lari Nol Emisi Pertama di Indonesia
7.500 Peserta Ikuti PLN Electric Run 2025, Ajang Lari Nol Emisi Pertama di Indonesia
BUMN
Jangkar Kapal Merusak Terumbu Karang di TN Komodo, Potret Gagalnya Tata Kelola Pariwisata
Jangkar Kapal Merusak Terumbu Karang di TN Komodo, Potret Gagalnya Tata Kelola Pariwisata
LSM/Figur
Studi Ungkap Emisi Penerbangan Nyata Bisa Tiga Kali Lipat Lebih Tinggi dari Kalkulator Karbon
Studi Ungkap Emisi Penerbangan Nyata Bisa Tiga Kali Lipat Lebih Tinggi dari Kalkulator Karbon
Pemerintah
Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
LSM/Figur
Kemenaker: 104 Kecelakaan Kerja Terjadi di 'Smelter' Nikel, SOP hingga K3 Masih Diabaikan
Kemenaker: 104 Kecelakaan Kerja Terjadi di "Smelter" Nikel, SOP hingga K3 Masih Diabaikan
Pemerintah
Emisi Tak Terlihat dari Colokan Listrik
Emisi Tak Terlihat dari Colokan Listrik
Pemerintah
Pertamina dan KLHK Tanam Ratusan Pohon Produktif di Hulu DAS di Bogor
Pertamina dan KLHK Tanam Ratusan Pohon Produktif di Hulu DAS di Bogor
BUMN
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
LSM/Figur
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
Pemerintah
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Pemerintah
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau