JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, mengungkapkan bahwa plastik menyumbang 15 persen dari total emisi global. Ironisnya, meski dunia tengah berupaya menekan emisi, konsumsi plastik justru diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya.
"Persoalan pelaku utama dari emisi terbesar di dunia ini berasal dari ekstrasi sumber daya fosil, terutama petroleum and gas salah satunya. Dan mereka enggak mau berubah," ujar Torry dalam webinar, Kamis (21/7/2025).
Industri plastik bergantung pada ekstraksi fosil, lantaran hampir semua jenisnya dibuat dari turunan minyak bumi dan gas alam. Sehingga, apabila ekstraksi fosil berhenti maka produksi plastik bakal turun drastis.
Menurut Torry, perusahaan minyak dan gas saat ini mulai mengalihkan bisnisnya dari energi ke produk berbasis polimer seperti plastik. Akibatnya, kebutuhan barang konsumsi berbahan plastik melonjak kendati terjadi penurunan emisi di sektor transportasi.
Baca juga: Perundingan Perjanjian Global Gagal, RI Tetap Berkomitmen Hentikan Polusi Plastik
Dampak plastik terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) terjadi di semua tahapan mulai dari ekstraksi minyak bumi dan gas, proses penyulingan, penggunaan energi saat produksi, hingga menjadi limbah.
"Ketika dia dibuang di alam, akan menghasilkan emisi juga bahkan lebih berbahaya, karena menurut beberapa riset menunjukkan bahwa ada proses-proses penguraian yang tidak sempurna lalu menjadi bahan beracun," jelas dia.
Gas itu mencakup metana atau GRK yang berujung pada pemanasan global. Di sisi lain, dia menyoroti pengolahan limbah plastik menggunakan insinerator, yang justru memicu emisi tambahan.
Selain itu, konsep sirkular ekonomi juga dinilai bukan menjadi jalan utama pengelolaan sampah plastik di Indonesia. Dia mencatat, hanya sekitar 9 persen plastik yang berhasil didaur ulang, sementara 91 persen sisanya berakhir sebagai limbah.
"Problemnya tidak semua plastik itu bisa dijadikan bahan lagi, karena konstruksinya memang dibuat untuk sekali pakai. Kalau misalnya tidak ada rancangan baru ya percuma, ini akan berujung jadi limbah," ucap Torry.
Oleh sebab itu, pihaknya mendorong agar masyarakat bisa mengurangi bahkan menghentikan konsumsi plastik sekali pakai untuk mengatasi permasalahan limbah saat ini.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyebut mulai tahun produsen diwajibkan mengumpulkan, mengolah, mendaur ulang, hingga memusnahkan limbahnya sendiri.
Baca juga: Laporan OECD: Tanpa Kebijakan Tegas, Asia Tenggara Bakal Alami Ledakan Sampah Plastik
Kebijakan Extended Producer Responsibility atau EPR ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sebelumnya, KLH belum mewajibkan aturan pengelolaan sampah tersebut.
"Itu (dalam UU) sifatnya wajib. Cuma memang waktu itu karena situasinya ya, jadi masih voluntary. Sekarang sedang kami selesaikan peraturan atau instrumenya menjadi wajib (mengelola sampah)," papar Hanif, Kamis.
Kendati begitu, Hanif tak menampik bila prosesnya tak langsung instan. Pihaknya juga tengah menyusun insentif maupun disinsentif bagi perusahaan terkait pengelolaan sampahnya sendiri.
"Tentu harus ada insentif dong buat teman-teman yang kemudian content recycle-nya lebih tinggi daripada yang lain," imbuh Hanif.
Pemerintah menargetkan pengelolaan sampah plastik 100 persen pada 2029. Sejauh ini, sedang dibangun 250 tempat pemprosesan sampah terpadu (TPST), dan lebih dari 42.000 TPS 3R di seluruh Indonesia
Selain itu, 550 TPA open dumping saat ini mulai diubah menjadi sanitary landfill paling atau control landfill. Hanif menyampaika , proyek pengelolaan sampah tersebut membutuhkan investasi hingga Rp 300 triliun.
"Tentu kami sekali lagi membuka ruang kolaborasi dengan semua pihak yaitu pemerintah, akademisi, bisnis, lembaga, pembiayaan, masyarakat dalam mencapai target pengelolaan sampah," tutur dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya