Selain PLTS atap, proyek pembangkit skala besar seperti PLTS terapung Cirata perlu diperbanyak untuk memenuhi kebutuhan listrik sektor industri dan transportasi.
Hal ini mengingat besarnya konsumsi energi nasional dari sektor industri (45,94 persen) dan transportasi (36,11 persen) yang mengonsumsi batu bara, gas alam, dan bahan bakar minyak (BBM).
Keandalan jaringan listrik nasional dan stasiun pengisian kendaraan listrik juga harus diperkuat agar transisi ke industri dan transportasi berbasis listrik bersih berjalan mulus.
Tidak semua sektor bisa cepat beralih ke tenaga listrik. Sektor penerbangan, maritim, dan industri, misalnya, tetap membutuhkan bahan bakar konvensional dengan kuantitas tinggi.
Karena itu, Indonesia juga perlu mengembangkan produksi bahan bakar terbarukan seperti hidrogen hijau, amonia, metanol, bioetanol, bioavtur, dan biodiesel. Tentu saja dengan catatan, produksinya harus menggunakan sumber listrik energi terbarukan dan tidak membuka lahan baru alias memanfaatkan limbah.
Untuk hidrogen, PLN sudah memulai pengembangan rantai pasok hidrogen buat industri serta kendaraan sel bahan bakar.
Salah satu proyek terbesar PLN adalah Garuda Hidrogen Hijau (GH2) yang merupakan proyek kerja sama dengan perusahaan energi asal Arab Saudi ACWA Power yang ditargetkan beroperasi 2026.
Hidrogen hijau ini nantinya akan digunakan untuk produksi amonia guna mendukung industri pupuk dalam negeri.
Selain GH2, ada empat proyek hidrogen lain yang tengah dikembangkan di berbagai lokasi, seperti Gresik, Jambi, Jawa Barat, hingga Sumba Timur, dengan target operasi 2026-2027.
Indonesia juga sudah menginisiasi produksi avtur ramah lingkungan. PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) di Kilang Cilacap bernama Bioavtur J2.4 dari produk turunan kelapa sawit. J2.4 merujuk pada konsentrasi produk turunan sawit sebesar 2,4 persen yang dicampur ke avtur fosil.
Proyek tahap pertama Bioavtur J2.4 mulai beroperasi pada 2021 dengan kapasitas produksi 9 ribu barel per hari. Teknologi pembuatannya dikembangkan oleh Pertamina Research and Technology Innovation (RTI) bersama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak 2010.
Pertamina juga sedang membangun fasilitas bahan bakar berkelanjutan seperti bensin, avtur, dan diesel dari bahan baku minyak jelantah di berbagai kilang seperti Cilacap, Plaju, dan Sungai Gerong.
Semua ini menunjukkan bahwa Indonesia punya kemampuan dan sumber daya yang cukup untuk mengembangkan energi terbarukan. Lalu mengapa kita masih terus memilih opsi impor?
Untuk menambah modal transisi energi, Indonesia perlu memperkuat kerjasama multilateral, khususnya dengan negara tetangga di Asia-Pasifik, termasuk ASEAN dan Australia.
Insentif seperti tax holiday bisa menarik investor luar negeri. Perbaikan sistem perizinan juga penting agar modal asing lebih mudah masuk.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya