JAKARTA, KOMPAS.com – Wita Mori Wita Hinaaku, Wita kinekewoiku. Ndepo’iangado pe’etuku, saru mia mota’uku. Itu’aimo Pentadeaku. Mekariao needo. Kaku kongkompiha metenunu. Ka melangkaio. (Wita Mori, Tanah Airku, tempat kelahiranku. Di sanalah aku berpijak bersama saudara sejiwaku. Itulah kebanggaanku. Warisan leluhur. Aku menjaga dan menenun. Jejak langkah kita.)
Penggalan syair “Wita Mori” itu berkisah tentang tanah yang menjadi rumah, tempat leluhur menitipkan doa dan kerja, serta tempat generasi baru menumbuhkan harapan.
Wita Mori sendiri merujuk pada Suku Mori, yakni kelompok etnik besar di Sulawesi Tengah (Sulteng), tepatnya di Kabupaten Morowali Utara dan sebagian Kabupaten Morowali. Pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-20, wilayah tersebut merupakan bagian dari Kerajaan Mori.
Baca juga: Kisah Selpiani Jadi Operator Alat Berat di Kawasan Industri Morowali
Bagi masyarakat Morowali, bait-bait itu bukan sekadar nyanyian, melainkan ikatan batin dengan tanah leluhur. Nilai serupa tecermin dalam semboyan “Tepe Asa Moroso” yang berarti “bersatu kita teguh.” Ungkapan dari bahasa Mori dan Bungku ini menegaskan pentingnya persatuan dalam menjaga warisan alam dan membangun masa depan bersama.
Sulawesi Tengah, khususnya Morowali, dikenal sebagai tanah kaya. Dari hutan tropis, hasil laut, hingga mineral di perut bumi menjadi penopang kehidupan. Tradisi lokal, seperti tenun, tari, dan ritual adat, pun memperkaya identitas mereka.
Sebelum industri hadir, sebagian besar masyarakat Morowali hidup dari pertanian, perkebunan, dan hasil laut. Hasilnya cukup untuk bertahan hidup, tetapi belum membuka peluang ekonomi luas.
Baca juga: Pemerintah Tetapkan 3 Kawasan Ekonomi Khusus Baru: BSD, Batam, Morowali
Babak baru dimulai ketika nikel di tanah Bahodopi menarik perhatian. Pada 2013, kawasan industri nikel berdiri dan pelan-pelan mengubah Morowali menjadi pusat hilirisasi terbesar di Asia Tenggara.
Kawasan industri IMIP Di bawah naungan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kawasan yang dulunya sunyi menjelma “jantung nikel” Indonesia. Luasnya sekitar 5.000 hektare—hanya seperlima wilayah Kecamatan Bahodopi—tetapi denyut kehidupannya melebihi kampung-kampung sekitar.
Bayangkan, pada 2022 penduduk Bahodopi hanya sekitar 50.000 jiwa. Kini, pekerja di kawasan IMIP mencapai lebih dari 120.000 orang, termasuk karyawan pabrik, kontraktor, dan pemasok. Di dalamnya berdiri 54 pabrik logam yang menjadi nadi baru perekonomian. [Data Badan Pusat Statistik 2022]
Di tengah arus besar itu, ada kisah Busra. Selama 15 tahun terakhir, hidup perempuan asal Morowali ini ikut berubah bersama pertumbuhan kawasan industri.
Baca juga: Tak Hanya Pendapatan Daerah, Smelter Nikel di Morowali Tumbuhkan Usaha Masyarakat Sekitar
Dahulu, Busra adalah seorang guru honorer dengan gaji tak seberapa yang bahkan seringnya baru dibayar tiga bulan sekali.
“Saya ingin kehidupan yang lebih baik, terutama untuk anak-anak,” kenangnya saat berbincang secara eksklusif dengan Kompas.com, Selasa (24/6/2025).
Titik balik datang pada 2010 ketika Busra mendengar kabar lowongan di IMIP. Dengan tekad, ia mencoba peruntungan.
“Waktu itu gajinya lebih dari Rp 3 juta. Bagi saya, itu jumlah besar untuk seorang ibu dua anak,” tuturnya.
Bagi Busra, bekerja sebagai staf senior administrasi di Departemen Eksternal Affairs IMIP bukan sekadar pekerjaan administrasi. Ia juga berperan sebagai corong informasi perusahaan. Dari seorang guru honorer, Busra kini menjadi staf senior administrasi di Departemen Eksternal Affairs IMIP. Ia bukan hanya saksi, melainkan bagian dari transformasi besar yang terjadi di tanah kelahirannya.
Bagi Busra, pekerjaan baru itu bukan sekadar soal penghasilan. IMIP membuka ruang bagi karyawan lokal untuk berkembang. Busra sendiri berkesempatan mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kapasitas diri, mulai dari pengelolaan data, penyusunan dokumen sesuai standar ISO, hingga safety basic training.
Baca juga: Utamakan Keselamatan, Begini Prosedur Pengolahan Nikel di Kawasan IMIP
Komitmen perusahaan untuk memberdayakan tenaga kerja lokal tercermin dari jumlah pekerja. Per November 2024, tercatat 84.336 pekerja lokal menjadi penggerak utama kawasan industri.
“Kami terus meningkatkan kapasitas tenaga kerja lokal melalui pelatihan dan transfer pengetahuan agar mereka kompeten dan mampu bersaing,” jelas Deputy Operational Director PT IMIP Yulius Susanto melalui jawaban tertulis kepada Kompas.com (21/1/2025).
Keseriusan IMIP memberdayakan tenaga kerja lokal berbuah manis. Tangan-tangan terampil mereka menjadi salah satu penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Morowali.
Suasana kampus Politeknik Industri Logam Morowali di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Kamis (18/1/2024). Tidak hanya pria yang belajar di sini, tapi juga perempuan. Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Morowali mencatat capaian PAD yang terus meningkat dan bahkan melampaui target.
“Pada 2018, PAD Morowali hanya sebesar Rp 181,232 miliar dari target Rp 350,222 miliar. Enam tahun kemudian, jumlah itu melonjak menjadi Rp 585,16 miliar, melebihi target Rp 469,61 miliar,” ujar Yulius.
Kinerja pajak dan retribusi daerah pada 2023 juga menunjukkan hasil positif. Pajak daerah terealisasi Rp 311,85 miliar dari target Rp 185,86 miliar. Sementara, retribusi daerah mencapai Rp 190,56 miliar dari target Rp 170,23 miliar.
Baca juga: Dampak Positif IMIP pada Ekonomi Lokal dan Pemberdayaan Masyarakat Morowali
Pertumbuhan ekonomi Morowali pun memberi sumbangan besar bagi produk domestik regional bruto (PDRB) Sulteng. Pada triwulan III 2024, PDRB tercatat Rp 95.555,46 miliar dengan laju pertumbuhan 12,74 persen.
“Morowali menyumbang 46,4 persen terhadap PDRB Sulteng,” jelas Yulius mengutip data BPS.
Infografis berkaitan dengan IMIP memberdayakan tenaga kerja lokal dan dampaknya pada roda ekonomi di Morowali. Data diolah dari BPS 2024.Dari sisi nasional, devisa ekspor PT IMIP per November 2024 mencapai 14,45 miliar dollar AS. Menurut Yulius, peningkatan penerimaan pajak dan royalti ini mampu membantu menekan current account deficit (CAD) sekaligus memperkuat neraca perdagangan negara,” tambah Yulius.
Bagi Indonesia, ini bukan hanya soal devisa. Kehadiran IMIP membuktikan bahwa sumber daya alam bisa dikelola di dalam negeri sehingga memberi manfaat langsung bagi rakyat, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia.
Baca juga: Utamakan Keselamatan, Begini Prosedur Pengolahan Nikel di Kawasan IMIP
Kisah Morowali adalah kisah tentang harmoni. Kekayaan alam, kerja keras masyarakat, dan filosofi persatuan Tepe Asa Moroso kini berpadu dengan modernitas industri.
IMIP menjadi saksi bagaimana tanah kaya sumber daya ini bukan hanya ladang investasi, melainkan juga rumah bagi harapan baru masyarakat lokal. Dari Busra di Bahodopi, gaungnya pun terdengar nyata.
Sejatinya, perubahan ini tetap harus berpijak pada akar budaya dan kearifan lokal. Seperti syair “Wita Mori” yang diwariskan dari generasi ke generasi, Morowali akan terus bernyanyi tentang rumah, persatuan, kekayaan alam, dan masa depan yang sejahtera.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya