KOMPAS.com - Usaha kuliner menjadi kontributor terbesar pencemaran limbah air di sepanjang Sungai Ciliwung, berdasarkan kajian inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta pada 2024.
DLH Jakarta meminta seluruh pelaku usaha kuliner segera mendaftarkan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan membuat Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) sebagai bentuk komitmen menjaga keberlanjutan lingkungan, kesehatan masyarakat, dan kualitas sungai di Jakarta.
Pendaftaran dapat dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan sistem Online Single Submission (OSS).
Jumlah usaha kuliner di Jakarta mencapai 351.700 unit. Rinciannya: 80.037 restoran/rumah makan, 45.750 penyedia makanan dan minuman keliling, 11.420 katering, serta 215.479 usaha makanan/minuman lainnya. Dari total tersebut, 91 persen belum memiliki NIB.
"Aktivitas masyarakat di sekitar bentaran sungai yang begitu banyak melakukan kegiatan usaha tanpa dilakukan pengelolaan lingkungan yang baik, ternyata faktor utama," ujar Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH Jakarta, Erni Pelita Fitratunnisa, dalam sebuah webinar pekan lalu.
Menurut DLH DKI, banyak UMKM yang belum membuat SPPL, sehingga limbah produksi langsung dibuang ke sungai. Akibatnya, Indeks Kualitas Air (IKA) rendah dan jauh dari target. Padahal, IKA merupakan indikator penting dalam perhitungan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH).
Baca juga: Guru Besar IPB: Lebah Madu Bisa Jadi Detektor Pencemaran Lingkungan
"Dan saya sampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup bahwa DKI tidak usah ikut di dalam penilaian IKLH secara nasional. Kenapa? Karena sangat berat. Jangankan mencapai target ya, naik satu level saja itu sangat berat," kata Erni.
Kajian terbaru Lembaga Teknologi (LEMTEK) Universitas Indonesia (UI) juga mencatat 11.499 sumber pencemar titik dan 7.196 sumber pencemar non-titik di Sungai Ciliwung, Cipinang, Sunter, Cideng, dan Grogol.
Dari 11.499 sumber pencemar titik, terbanyak berasal dari pertokoan (4.130) dan restoran (3.555). Sumber lainnya meliputi bengkel/pergudangan (618), hotel (312), industri kecil (436), pasar tradisional (88), pasar modern (7), fasilitas pendidikan (769), perkantoran (1.053), pariwisata (161), peternakan/RPH (174), dan rumah sakit (189).
Sementara itu, dari 7.196 sumber pencemar non-titik, sebanyak 2.836 berasal dari permukiman teratur, 2.251 dari permukiman tidak teratur, 1.754 dari area perkantoran, dan 345 dari permukiman kumuh.
Menurut peneliti LEMTEK UI, Nopa Maulidiany, sumber utama pencemaran sungai di Jakarta berasal dari UMKM, seperti pabrik tahu-tempe, laundry, rumah potong hewan (RPH), rumah makan, serta greywater domestic (limbah domestik dari aktivitas mencuci piring, pakaian, hingga kendaraan).
"Greywater domestic mayoritas belum diolah dan langsung masuk drainase atau sungai. UMKM dan RPH banyak yang belum memiliki IPAL (instalasi pengolahan air limbah). Jadi, limbah hasil kegiatannya langsung dibuang ke sungai. Lalu, tantangan pembiayaan UMKM dan arah solusi berkelanjutan yang perlu kajian finansial mendalam," ucap Nopa.
Baca juga: Sungai Jakarta Cemar Berat, Limbah Domestik Sumber Utamanya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya