KOMPAS.com - Deforestasi besar-besaran menyebabkan hilangnya tutupan hutan daerah aliran sungai (DAS) di Aceh, menurut Executive Director Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, Farwiza Farhan. Pembukaan lahan berlangsung sejak 1990 di DAS Peusangan, DAS Krung Gero, dan DAS Tamiang.
"Implikasi dari kerusakan hutan yang terjadi di era 1990-an itu masih kita rasakan sampai sekarang. Salah satu buktinya adalah banjir bandang yang terjadi bulan lalu, yang menyapu 18 kabupaten di Provinsi Aceh," kata Farwiza dalam webinar di YouTube Madani Berkelanjutan, Kamis (18/12/2025).
Baca juga:
Kondisi terkini lokasi bencana di Bener Meriah, Aceh. Menurut Farwiza, Pemerintah Provinsi Aceh sesungguhnya telah memiliki Tim Penyusun Rencana Tata Ruang dan Evaluasi Strategis (TPRES). Tugasnya memetakan seluruh wilayah Aceh termasuk data tutupan hutan, sensitivitas lahan, curah hujan, dan sebaran penduduk.
Dari hasil pemetaan, ditemukan bahwa Aceh sudah tidak memiliki area tutupan hutan yang aman untuk dibuka.
"Artinya, setiap pembukaan lahan yang dilakukan sejak masa itu berisiko besar menimbulkan bencana," tutur dia.
Farwiza menjelaskan, dalam studi peneliti pascasarjana IPB University tahun 2020, DAS Tamiang memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap potensi banjir bandang.
Berdasarkan kajian tersebut, sekitar 70 persen desa di DAS Tamiang berisiko terdampak banjir bandang. Wilayah ini mencakup Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara.
"Jadi dampak banjir yang kita rasakan saat ini sebenarnya bukan hal baru. Ini sudah diketahui sejak lama melalui berbagai kajian ilmiah dan pemetaan pemerintah," papar Farwiza.
"Namun, seperti yang sering terjadi, bencana besar datang ketika hasil kajian para peneliti tidak didengarkan oleh pemerintah," imbuh dia.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya