JAKARTA, KOMPAS.com - Generasi Z atau Gen Z tak lagi sekedar menyeruput segelas kopi di kafe. Mereka kini mulai kritis dengan isu keberlanjutan terutama pada kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Culturalpreneur & Creative Storyteller, Handoko Henroyono, mengatakan tren tersebut terlihat jelas dalam satu dekade terakhir.
"Selama 10 tahun, saya mendapati anak-anak muda itu berbeda dengan ketika lima tahun yang lalu mereka datang ke kedai kopi. Tiba-tiba mereka cium-cium kopi bertanya ke barista kopinya dari mana, ramah dengan isu-isu lingkungan atau tidak," ujar Handoko dalam Lestari Summit and Awards 2025, Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).
Krisis iklim turut menjadi perhatian generasi muda saat ini. Handoko menilai, Gen Z juga potensial menjadi agen perubahan dalam menghadapi isu iklim.
Baca juga: Tradisi Masyarakat Adat Ciptagelar yang Hormati Hutan dan Beradaptasi dengan Krisis Iklim
"Karena mereka lah yang memakai baju zero waste atau berpewarna alam dan lain-lain itu kan generasi muda sekarang. Mereka adalah generasi yang sangat-sangat sensitif terhadap climate issues," papar dia.
Dalam kesempatan tersebut, pendiri Filosofi Kopi ini menyampaikan bahwa kopi juga berkaitan dengan konservasi. Hal itu tertuang dalam film Filosofi Kopi yang tayang pada 2015 lalu, menceritakan tentang perjuangan tokoh utama bernama Jody dan Ben mempertahankan kedai mereka.
Film yang diadaptasi dari buku karya Dewi Lestari ini secara tegas mengkritik monokultur sawit, dengan mengangkat perlawanan petani kopi sebagai simbol perlawanan terhadap kerusakan alam.
"Film yang berpihak kepada keberagaman ekosistem, sangat anti dengan monokultur. Makanya di film itu menceritakan tentang pertentangannya dengan kelapa sawit. Itu statement yang sangat jelas," jelas Handoko.
"Dan yang dimenangkan di film itu bukan Chicco Jerikho atau Ben sebagai barista yang keren, tetapi Pak Seno sebagai petani kopi itu menjadi spirit yang tidak bisa kita lupakan," papar dia.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim di Brasil Sebabkan Harga Kopi Dunia Naik Tajam
Di sisi lain, kopi Indonesia yang mendunia belum sepenuhnya eksis di pasar global. Handoko mengingat kembali perjalanannya ke Brisbane, Australia, beberapa waktu lalu.
Membawa narasi konservasi kopi, ia disambut hangat oleh sang wali kota. Namun, Handoko mengaku kesal lantaran kopi Indonesia yang dijual di Australia sebagian besar sudah dicampur dengan kopi lain.
"Saya sangat sakit hati dengan kopi-kopi dari Kenya dari Panama dari Kolombia dan lain-lain exist di sana. Kita yang katanya negara kopi tidak eksis di sana, itu fakta," tutur Handoko.
Kondisi itu rupanya disebabkan kekecewaan pemerintah Australia pada 10 tahun lalu terkait persyaratan sertifikasi maupun standar operasional prosedur (SOP) pemerintah RI.
"Sehingga kita mengecewakan mereka ketika kita mengirim kopi-kopi Nusantara," tutur dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya