BEBERAPA pekan terakhir, publik Indonesia diguncang kabar yang menggemparkan, udang asal Indonesia ditolak masuk ke Amerika Serikat karena mengandung zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137).
Isu ini tak sekadar soal ekspor yang gagal, tetapi juga mengguncang rasa aman rakyat terhadap pangan laut, sekaligus menyingkap lubang besar dalam sistem pengawasan lingkungan industri nasional. Udang simbol kesuburan laut tropis tiba-tiba berubah menjadi ikon krisis kepercayaan terhadap tata kelola keselamatan rakyat.
Berdasarkan laporan resmi U.S. Food and Drug Administration (FDA) dan Customs and Border Protection AS, sampel udang beku dari PT Bahari Makmur Sejati (BMS Foods) menunjukkan adanya kandungan radioaktif Cs-137 sebesar 68 becquerel per kilogram (Bq/kg).
Meskipun kadar itu jauh di bawah batas intervensi FDA yang menetapkan ambang aman 1.200 Bq/kg, fakta bahwa unsur radioaktif terdeteksi sama sekali bukan perkara sepele. Karena dalam setiap satuan becquerel tersimpan energi yang, jika diabaikan, dapat merusak jaringan biologis dan menumpuk efek jangka panjang terhadap tubuh manusia.
Pemerintah Indonesia segera menelusuri sumber kontaminasi dan menemukan bahwa pabrik pengolahan udang tersebut berada hanya dua kilometer dari zona industri scrap metal di Cikande Serang Banten, yang diketahui pernah mengandung sisa material radioaktif.
Investigasi Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan indikasi kuat bahwa Cs-137 berasal dari pabrik baja yang menggunakan besi tua (scrap metal). Dugaan utamanya adalah logam bekas yang mengandung isotop radioaktif tanpa sengaja ikut dilebur, menyebarkan partikel radiasi lewat udara hingga mencapai area sekitar.
Udang yang diproses di pabrik pengemasan terpapar secara tidak langsung, lalu terbawa sampai ke rantai ekspor. Kisah ini seolah diambil dari film fiksi ilmiah, tetapi terjadi di tanah air yang katanya tengah menuju era transisi energi bersih dan berkelanjutan.
Lebih ironis lagi, skandal ini mencuat hanya beberapa bulan setelah pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN), yang secara resmi memasukkan tenaga nuklir sebagai sumber energi baru nasional. Maka pertanyaannya bukan lagi “berapa besar kandungan radiasinya?”, melainkan “apakah negara benar-benar siap melindungi keselamatan rakyat ketika nuklir kini dilegalkan sebagai energi masa depan?”.
Baca juga: Apa itu Radioaktif Cesium-137 dan Bahayanya bagi Manusia?
UUD 1945 alinea keempat menegaskan empat tujuan negara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam kerangka konstitusional ini, keselamatan rakyat bukan sekadar kebijakan sektoral, tetapi fondasi moral dan hukum dari setiap kebijakan publik termasuk di bidang energi dan industri. Jika batu uji ini diterapkan pada kasus “udang radioaktif” di Banten, maka terlihat jelas bahwa negara gagal memenuhi prinsip perlindungan dalam dua aspek pertama, kegagalan sistem pengawasan lingkungan industri dan kedua, lemahnya integrasi kebijakan energi dan keselamatan publik.
Kegagalan pertama tampak dari bagaimana zat berbahaya seperti Cs-137 bisa lolos dari rantai produksi tanpa deteksi dini. Cs-137 bukan bahan alami, ia hasil reaksi fisi nuklir dari peluruhan uranium atau plutonium, biasanya muncul dalam konteks pembangkit listrik tenaga nuklir atau limbah medis.
Bahwa isotop ini bisa muncul di pabrik baja menandakan sistem traceability bahan baku nasional belum memiliki kontrol radiasi memadai. Negara baru bereaksi setelah insiden meledak di pasar ekspor bukan ketika risiko masih bisa dicegah di dalam negeri.
Kegagalan kedua muncul dari kontradiksi kebijakan energi nasional. PP KEN menyebutkan bahwa nuklir kini termasuk “energi baru” yang dapat dikembangkan untuk mendukung target net-zero emission 2060. Pemerintah berargumen bahwa teknologi nuklir modern lebih aman, efisien, dan bebas emisi karbon.
Namun, bagaimana mungkin publik diminta percaya pada keamanan reaktor nuklir jika limbah radioaktif saja bisa mengalir hingga ke tubuh udang tanpa pengawasan ketat?
Di sinilah pentingnya batu uji konstitusional, apakah setiap kebijakan energi baru benar-benar menempatkan keselamatan rakyat sebagai orientasi utama? Karena transisi energi bukan sekadar soal mengganti sumber daya fosil dengan sumber baru, tetapi memastikan perubahan itu tidak menciptakan risiko baru yang lebih mematikan.
Bila negara gagal memastikan aspek keselamatan dan transparansi, maka setiap kemajuan teknologi justru berubah menjadi ancaman terhadap hak dasar rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Baca juga: Cegah Terulangnya Pencemaran Cesium-137, Pemerintah Aktifkan RPM di Pelabuhan
Isu tercemarnya udang oleh limbah radioaktif membuka tirai besar tentang problem struktural tata kelola energi di Indonesia, bahwa inovasi sering kali berlari lebih cepat dari etika dan target ekonomi lebih kuat daripada kehati-hatian ekologis.
Dalam konteks PP KEN, pemerintah memang tengah mengejar diversifikasi energi melalui target bauran energi dengan memasukkan hidrogen, nuklir, dan energi laut ke dalam kerangka energi baru. Tetapi yang luput dari perdebatan publik adalah aspek keadilan dan keselamatan sosial dari kebijakan tersebut.
Keadilan energi berarti setiap kebijakan harus memihak pada rakyat, terutama kelompok rentan yang berpotensi menjadi korban dari efek samping industri. Dalam kasus ini, para nelayan dan petambak udang kecil justru menjadi pihak pertama yang menanggung dampak reputasi buruk industri akibat kelalaian korporasi besar.
Setelah isu Cs-137 mencuat, permintaan ekspor udang turun hingga 35%, ribuan pekerja sektor pengolahan laut di Banten terancam kehilangan pekerjaan, dan citra pangan Indonesia di pasar global tercoreng. Sementara pelaku utama pencemaran masih bersembunyi di balik jargon “investasi strategis nasional”.
Lebih jauh, kasus ini menegaskan betapa pentingnya integrasi antara kebijakan energi, industri, dan kesehatan publik. Tidak cukup hanya memiliki BAPETEN yang bekerja reaktif setiap kali ada kasus; dibutuhkan sistem audit keselamatan yang terhubung dengan seluruh rantai produksi dari bahan baku, pembuangan limbah, hingga distribusi hasil olahan.
Bila pemerintah serius ingin menjadikan nuklir sebagai energi baru, maka infrastruktur keselamatan harus bertransformasi setara dengan ambisi itu. Tanpa budaya keselamatan, nuklir hanya akan menjadi versi baru dari bencana industri.
Pengalaman dunia memberikan banyak pelajaran: dari Chernobyl (1986) hingga Fukushima (2011), semua tragedi nuklir berawal dari keyakinan berlebihan pada teknologi dan pengawasan yang lemah. Indonesia kini berada di titik genting antara keinginan untuk melompat menuju energi modern dan kewajiban untuk memastikan rakyat tidak dijadikan kelinci percobaan.
Dalam konteks hukum sumber daya alam, prinsip kehati-hatian (precautionary principle) seharusnya menjadi asas utama. Negara tidak boleh menunggu bencana terjadi baru bertindak. Maka, jika pemerintah ingin mengembangkan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) di Serpong atau reaktor modular di Kalimantan Barat sebagaimana wacana BRIN, langkah pertama bukanlah membangun beton, melainkan membangun kepercayaan publik.
Dan kepercayaan itu hanya lahir dari transparansi informasi, keterbukaan hasil uji keselamatan, serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan.
Baca juga: Apa yang Terjadi pada Tubuh jika Makan Udang Terkontaminasi Radioaktif? Ini Kata Ahli Gizi
Kisah udang radioaktif bukan sekadar skandal teknis, melainkan cermin moral tentang bagaimana negara menempatkan keselamatan rakyat di tengah pusaran ekonomi global.
Dalam sistem ekonomi yang menilai keberhasilan dari angka ekspor dan pertumbuhan, keselamatan sering kali menjadi variabel yang bisa dinegosiasikan. Padahal, tujuan negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945 alinea keempat tidak pernah menempatkan keselamatan sebagai pilihan, tetapi sebagai kewajiban mutlak.
Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang kerangka regulasi pengawasan radiasi di sektor non-nuklir terutama industri logam, medis, dan limbah bahan berbahaya. BAPETEN harus diberi kewenangan yang lebih luas untuk melakukan audit lintas sektor dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang lalai.
Setiap izin industri besar seharusnya mencantumkan klausul keselamatan radiasi sebagai syarat mutlak, sama seperti izin lingkungan dan AMDAL. Selain itu, pemerintah perlu mengembangkan Sistem Informasi Terbuka Limbah Radioaktif Nasional (SILIRAN) platform daring yang memungkinkan publik, akademisi, dan lembaga independen memantau data lokasi, hasil uji radiasi, serta tindak lanjut pengawasan.
Transparansi adalah benteng pertama melawan ketidakpercayaan publik. Sementara itu, dunia akademik dan masyarakat sipil harus berani menagih akuntabilitas kebijakan energi nuklir yang kini dilegalkan melalui PP KEN. Jangan biarkan label “energi bersih” menutupi potensi risiko ekologis yang bisa bertahan ratusan tahun. Energi bersih tidak boleh berarti risiko kotor bagi generasi berikutnya.
Kasus udang tercemar radioaktif adalah alarm keras bahwa keselamatan tidak boleh datang terlambat. Karena begitu bahan radioaktif memasuki rantai makanan, ia tidak hanya merusak tubuh manusia, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara yang seharusnya melindungi mereka.
Ketika konstitusi berbicara tentang “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,” amant ini tidak membedakan apakah ancamannya datang dari perang, kemiskinan, atau radiasi. Semua bentuk ancaman terhadap keselamatan rakyat menuntut reaksi cepat, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik.
Maka, tugas pemerintah bukan hanya mengumumkan bahwa kadar Cs-137 masih di bawah ambang batas, tetapi memastikan tak ada satu pun partikel radioaktif yang kembali menyelinap ke piring makan rakyat Indonesia.
Udang yang tercemar mungkin hanyalah satu kontainer kecil di tengah jutaan ton hasil laut Indonesia. Tapi dari sanalah kita belajar, bahwa kedaulatan energi dan pangan sejatinya diukur dari sejauh mana negara mampu menjaga keselamatan rakyatnya dari ancaman yang tak kasat mata.
Bila negara lengah, maka bukan hanya udang yang mati, tetapi kepercayaan rakyat pun bisa ikut tenggelam di dasar laut ketidakpedulian.
Baca juga: Zulhas Sebut Udang yang Terkontaminasi Radioaktif Aman Dikonsumsi, Asalkan...
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya