Perpres ini memang berbicara tentang nilai ekonomi karbon, tetapi belum secara eksplisit menjawab bagaimana memastikan keadilan bagi mereka yang menjaga bumi dari barisan depan.
Indonesia sebenarnya memiliki posisi strategis. Potensi penyimpanan karbon nasional dari sektor kehutanan, energi, dan kelautan mencapai sekitar 1,4 miliar ton CO2 per tahun.
Jika dikelola baik, maka ini bisa menjadi modal besar dalam transisi energi dunia. Namun potensi tanpa tata kelola hanya akan menjadi angka di layar monitor.
Dua tahun setelah peluncuran pasar karbon, sebagian besar proyek masih berhenti di tahap registrasi.
Aktivitas nyata penurunan emisi di lapangan belum menunjukkan peningkatan berarti. Ambisi besar belum diimbangi oleh kesiapan teknis dan kelembagaan yang kuat.
Masalah pertama terletak pada sinyal harga karbon yang terlalu rendah. Harga karbon di bursa domestik pada 2024 tercatat sekitar 3,9 dolar AS per ton CO2, jauh di bawah kisaran 50 hingga 100 dolar AS yang direkomendasikan agar kebijakan harga karbon efektif.
Dengan harga serendah itu, membayar izin emisi menjadi lebih murah daripada berinvestasi dalam teknologi hijau.
Maka wajar bila perusahaan lebih memilih membayar denda daripada mengubah perilaku produksinya. Ini seperti menebus dosa dengan diskon.
Masalah kedua ada pada integrasi data dan kelembagaan. Perpres baru memang membentuk Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon dan memperkenalkan Sistem Registri Unit Karbon yang bersifat transparan dan real time.
Namun sampai hari ini, belum ada satu lembaga pun yang secara tegas ditunjuk sebagai pengelola utama sistem itu.
Data emisi masih tersebar di berbagai kementerian. Sistem verifikasi antarsektor belum saling terhubung, dan mekanisme pengawasan masih lemah.
Akibatnya, risiko penghitungan ganda atau klaim palsu atas penurunan emisi tetap terbuka. Jika sistem pencatatannya belum kredibel, bagaimana mungkin pasar karbon bisa dipercaya?
Masalah ketiga, yang paling mendasar, adalah hilangnya dimensi keadilan dari perdebatan iklim kita.
Di ruang-ruang rapat, karbon dihitung dalam satuan ton dan dolar. Di lapangan, ia berarti hutan yang ditebang, laut yang rusak, dan masyarakat adat yang kehilangan sumber penghidupan.
Nilai Ekonomi Karbon semestinya tidak hanya menjadi soal harga, tetapi juga soal hak. Kebijakan ini akan gagal bila tidak memastikan bahwa masyarakat penjaga hutan mendapat manfaat langsung dari setiap transaksi karbon yang dilakukan atas nama mereka.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya