Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Maman Silaban
Konsultan Individu

Aktivis dan peneliti; Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB University.

Nilai Ekonomi Karbon dan Politik Keberlanjutan

Kompas.com - 22/10/2025, 17:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Perpres ini memang berbicara tentang nilai ekonomi karbon, tetapi belum secara eksplisit menjawab bagaimana memastikan keadilan bagi mereka yang menjaga bumi dari barisan depan.

Indonesia sebenarnya memiliki posisi strategis. Potensi penyimpanan karbon nasional dari sektor kehutanan, energi, dan kelautan mencapai sekitar 1,4 miliar ton CO2 per tahun.

Jika dikelola baik, maka ini bisa menjadi modal besar dalam transisi energi dunia. Namun potensi tanpa tata kelola hanya akan menjadi angka di layar monitor.

Dua tahun setelah peluncuran pasar karbon, sebagian besar proyek masih berhenti di tahap registrasi.

Aktivitas nyata penurunan emisi di lapangan belum menunjukkan peningkatan berarti. Ambisi besar belum diimbangi oleh kesiapan teknis dan kelembagaan yang kuat.

Masalah pertama terletak pada sinyal harga karbon yang terlalu rendah. Harga karbon di bursa domestik pada 2024 tercatat sekitar 3,9 dolar AS per ton CO2, jauh di bawah kisaran 50 hingga 100 dolar AS yang direkomendasikan agar kebijakan harga karbon efektif.

Dengan harga serendah itu, membayar izin emisi menjadi lebih murah daripada berinvestasi dalam teknologi hijau.

Maka wajar bila perusahaan lebih memilih membayar denda daripada mengubah perilaku produksinya. Ini seperti menebus dosa dengan diskon.

Masalah kedua ada pada integrasi data dan kelembagaan. Perpres baru memang membentuk Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon dan memperkenalkan Sistem Registri Unit Karbon yang bersifat transparan dan real time.

Namun sampai hari ini, belum ada satu lembaga pun yang secara tegas ditunjuk sebagai pengelola utama sistem itu.

Data emisi masih tersebar di berbagai kementerian. Sistem verifikasi antarsektor belum saling terhubung, dan mekanisme pengawasan masih lemah.

Akibatnya, risiko penghitungan ganda atau klaim palsu atas penurunan emisi tetap terbuka. Jika sistem pencatatannya belum kredibel, bagaimana mungkin pasar karbon bisa dipercaya?

Masalah ketiga, yang paling mendasar, adalah hilangnya dimensi keadilan dari perdebatan iklim kita.

Di ruang-ruang rapat, karbon dihitung dalam satuan ton dan dolar. Di lapangan, ia berarti hutan yang ditebang, laut yang rusak, dan masyarakat adat yang kehilangan sumber penghidupan.

Nilai Ekonomi Karbon semestinya tidak hanya menjadi soal harga, tetapi juga soal hak. Kebijakan ini akan gagal bila tidak memastikan bahwa masyarakat penjaga hutan mendapat manfaat langsung dari setiap transaksi karbon yang dilakukan atas nama mereka.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Dukung Transportasi Rendah Emisi, PLN Gandeng KAI Wujudkan Elektrifikasi Jalur Kereta Api
Dukung Transportasi Rendah Emisi, PLN Gandeng KAI Wujudkan Elektrifikasi Jalur Kereta Api
BUMN
Mentan: Tidak Semua Miskin, 27 Ribu Petani Muda Cuan hingga Rp 20 Juta per Bulan
Mentan: Tidak Semua Miskin, 27 Ribu Petani Muda Cuan hingga Rp 20 Juta per Bulan
Pemerintah
Percepatan Net Zero 2050, MKI Integrasikan Emisi GRK ke Perencanaan Bisnis Strategis
Percepatan Net Zero 2050, MKI Integrasikan Emisi GRK ke Perencanaan Bisnis Strategis
Swasta
Nilai Ekonomi Karbon dan Politik Keberlanjutan
Nilai Ekonomi Karbon dan Politik Keberlanjutan
Pemerintah
Sampah Jadi Energi: Bisa Jadi Solusi Maupun Petaka, Risikonya Terlihat Mata
Sampah Jadi Energi: Bisa Jadi Solusi Maupun Petaka, Risikonya Terlihat Mata
Pemerintah
Investor Global Ultimatum, Stop Deforestasi Sebelum 2030, atau Modal Hijau Terhenti
Investor Global Ultimatum, Stop Deforestasi Sebelum 2030, atau Modal Hijau Terhenti
Swasta
Genjot Jaringan Listrik ASEAN, ADB-Bank Dunia Rilis Pendanaan Baru
Genjot Jaringan Listrik ASEAN, ADB-Bank Dunia Rilis Pendanaan Baru
Pemerintah
Akademisi UB: Pemanfaatan Geotermal di Indonesia Masih Jauh dari Maksimal
Akademisi UB: Pemanfaatan Geotermal di Indonesia Masih Jauh dari Maksimal
Pemerintah
Nyanyian Lontar di Rai Hawu: Saatnya Adaptasi Iklim Berpijak pada Kekuatan Lokal
Nyanyian Lontar di Rai Hawu: Saatnya Adaptasi Iklim Berpijak pada Kekuatan Lokal
Pemerintah
Penjurian Asia ESG Positive Impact Awards 2025 Resmi Selesai
Penjurian Asia ESG Positive Impact Awards 2025 Resmi Selesai
Swasta
Mau Proyek Sampah Jadi Energi Sukses? Kuncinya Duit, Transparansi, dan Kebijakan Jelas
Mau Proyek Sampah Jadi Energi Sukses? Kuncinya Duit, Transparansi, dan Kebijakan Jelas
Swasta
20 Kura-Kura Leher Ular Rote Dilepasliarkan, Agar Tak Lagi Jadi Terlangka di Dunia
20 Kura-Kura Leher Ular Rote Dilepasliarkan, Agar Tak Lagi Jadi Terlangka di Dunia
Pemerintah
FAO: Hutan Tetap Terancam meski Deforestasi Global Melambat dalam Satu Dekade Terakhir
FAO: Hutan Tetap Terancam meski Deforestasi Global Melambat dalam Satu Dekade Terakhir
Pemerintah
Papua Terancam Jadi Sumatera Kedua, Jadi Langganan Kebakaran Gambut
Papua Terancam Jadi Sumatera Kedua, Jadi Langganan Kebakaran Gambut
LSM/Figur
Demi NZE 2060, RI Tak Boleh Korbankan Hutan dan Gambut untuk Transisi Energi
Demi NZE 2060, RI Tak Boleh Korbankan Hutan dan Gambut untuk Transisi Energi
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau