KOMPAS.com - Laporan baru yang dirilis oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF), bekerja sama dengan McKinsey and Company dan Laudes Foundation menemukan bahwa transisi hijau global diperkirakan akan menghasilkan 9,6 juta lapangan kerja pada tahun 2030.
Studi juga memperkirakan bahwa 14,4 juta posisi di seluruh dunia akan terdampak seiring peralihan ekonomi menuju energi yang lebih bersih.
Namun, lima lapangan kerja baru akan tercipta untuk setiap satu lapangan kerja yang dihapuskan, menghadirkan banyak peluang untuk transisi yang inklusif.
Kendati demikian, studi memperingatkan potensi transisi hijau terancam oleh kenaikan biaya, akses keuangan yang tidak merata, dan kesenjangan teknologi yang semakin lebar menciptakan tekanan pada bisnis dan konsumen.
Melansir Edie, Senin (17/11/2025) hampir 37 persen perusahaan di seluruh dunia melaporkan biaya energi dan komoditas yang lebih tinggi.
Angka ini meningkat menjadi 47 persen di negara-negara berpenghasilan rendah. Sekitar 51 persen perusahaan di seluruh dunia mengatakan bahwa kenaikan ini berisiko dibebankan kepada konsumen.
Baca juga: Kemenaker: Ekonomi Hijau Bisa Ciptakan Lapangan Kerja Baru
Selain itu, satu dari tiga bisnis secara global menyatakan kekhawatiran tentang perpindahan pekerjaan di setidaknya satu industri utama.
Akan tetapi kekhawatiran bisa diredam jika ada sistem perlindungan sosial yang kuat. Laporan tersebut mencatat bahwa sistem perlindungan sosial yang lebih kuat dikaitkan dengan tingkat kekhawatiran yang lebih rendah mengenai dampak pada pekerja dan konsumen.
“Dalam konteks sosial dan geoekonomi yang berkembang pesat, bisnis yang ingin bertransisi dengan sukses harus secara eksplisit mempertimbangkan dampak rencana iklim mereka terhadap masyarakat,” ungkap Kepala Transisi yang Berkeadilan WEF, Harsh Vijay Singh.
Studi tersebut menyoroti bahwa, agar transisi hijau dapat berjalan baik bagi masyarakat di berbagai negara dan tingkat pendapatan, pembuat kebijakan perlu meninggalkan klasifikasi negara yang kuno seperti negara maju dan negara berkembang.
Sebaliknya, mereka harus menggunakan model klasifikasi baru yang lebih rinci untuk merancang solusi spesifik dan efektif untuk tantangan sosial ekonomi setiap negara.
Studi ini kemudian mengidentifikasi enam arketipe negara, sebuah kategori atau model baru untuk mengklasifikasikan negara yang lebih relevan untuk merancang kebijakan transisi hijau yang tepat sasaran.
Arketipe 'pengadopsi hijau inklusif' (inclusive green adopters) seperti Australia, Prancis, dan Inggris memiliki sektor jasa dan akses pendanaan yang kuat, tetapi menghadapi biaya regulasi dan energi yang lebih tinggi.
Baca juga: Penetrasi Kendaraan Listrik Bisa Hadirkan 1,7 Juta Lapangan Kerja
Arketipe 'pengembang hijau' (Green developers) termasuk China, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan AS unggul dalam teknologi hijau, namun menghadapi akses yang tidak merata terhadap material kritis.
Arketipe 'pengadopsi hijau yang muncul' (Emerging green adopters) seperti Italia dan Turki menunjukkan tingkat pesimisme yang lebih tinggi mengenai dampak ekonomi.
Arketipe 'ekonomi pertumbuhan' (Growth economies) termasuk Brasil, India, Meksiko, dan Afrika Selatan menghadapi kendala pendanaan dan ekosistem teknologi yang baru muncul.
Arketipe 'ekonomi perbatasan' (Frontier economies) termasuk Bangladesh, Nigeria, dan Pakistan menghadapi tantangan akut terkait pendanaan, keterampilan, dan keterjangkauan, dan diperkirakan akan memerlukan dukungan internasional.
“Aksi iklim yang efektif bergantung pada pemahaman realitas sosial-ekonomi yang unik dari setiap negara dan komunitas lokal. Dengan memanfaatkan data baru dan panduan praktis, kita dapat menyesuaikan strategi iklim untuk memastikan transisi hijau bermanfaat bagi masyarakat dan perekonomian,” tambah Kepala Pertumbuhan dan Transformasi Ekonomi WEF Attilio Di Battista.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya