Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironis, Tembok Alami di Pesisir Selatan Jawa Kian Terkikis Tambang Pasir

Kompas.com, 27 November 2025, 13:25 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa tembok alami di sepanjang pesisir selatan Jawa, dari Kebumen hingga Purworejo, kian terkikis akibat masifnya tambang pasir. Padahal, benteng alami itu terbentuk ribuan tahun lalu yang menahan terjangan tsunami ke permukiman.

Periset Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Eko Yulianto, menegaskan pentingnya peran punggungan pasir ini dalam melindungi masyarakat pesisir.

“Benteng alam ini terbentuk lewat proses geologi ribuan tahun, dan fungsinya sangat penting bagi keselamatan warga pesisir. Jika punggungan pasir ini rusak, kita kehilangan perlindungan paling dasar dari tsunami,” ujar Eko dalam keterangannya, Rabu (26/11/2025).

Baca juga: Kisah Kampung Berseri Astra Cidadap, Ubah Tambang Ilegal Jadi Ekowisata

Hasil riset BRIN menunjukkan punggungan pasir di kawasan tersebut terbentuk sekitar enam ribu tahun lalu, ketika permukaan laut berada sekitar 3 hingga 5 meter lebih tinggi dibandingkan saat ini. Eko menjelaskan, formasi ini disebut Teras Laut Holosen Maksimum (TLHM).

Punggungan pasir membentang sejauh sekitar 40 kilometer, dengan ketinggian rata-rata antara 6 hingga 13 meter, berjarak hanya 400 hingga 500 meter dari garis pantai di Kebumen sampai Purworejo.

Perbedaan tinggi dan jarak dari laut yang menyebababkan tingkat kerawanan tsunami di setiap wilayah beragam. Kata Eko, permukiman di Kebumen dan Purworejo yang berada di atas punggungan dengan ketinggian lebih dari 9 meter di atas permukaan laut relatif lebih aman dari tsunami berskala menengah.

“Sebaliknya, kawasan Cilacap yang hanya berada di ketinggian nol hingga empat meter lebih rentan karena berada langsung di dataran pantai modern,” ucap dia.

Baca juga: 36 Tambang Ilegal di Merapi Ditindak, Kemenhut Siap Pulihkan Ekosistem

Di samping itu, secara morfologi Cilacap jauh lebih rawan dibanding Kebumen karena datarannya lebih rendah dan lebih dekat ke laut. Kajian kebumian menunjukkan bahwa zona megathrust di selatan Jawa-Nusa Tenggara mampu menghasilkan gempa besar hingga magnitudo 9,6, dengan siklus berulang setiap 675 tahun.

“Gempa sebesar ini berpotensi memicu tsunami besar yang dapat menyapu hingga beberapa kilometer ke daratan. Dalam skenario seperti itu, benteng alami berupa punggungan pasir berperan sangat penting untuk memperlambat dan mengurangi kekuatan gelombang sebelum mencapai kawasan penduduk,” sebut Eko.

Penambangan pasir yang tak terkendali pun mengancam keberadaan tembok alam tersebut.

“Ironinya, kita justru mengikis perlindungan alami yang tak ternilai hanya untuk kepentingan sesaat,” imbuh dia.

Apabila benteng alami hilang maka pemerintah harus membangun giant sea wall yang bisa menelan biayanya hingga Rp 14 triliun, setara 14 kali anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2025. Hal ini sempat dilakukan Jepang berkaca pada tsunami yang terjadi pada 2011 lalu.

Jepang membangun giant sea wall setinggi 12-15 meter sepanjang hampir 400 kilometer dengan biaya Rp 138 triliun.

"Menghancurkan punggungan pasir sama saja dengan melepas pelindung terakhir masyarakat dari ancaman tsunami. Ini bukan hanya masalah geologi, tapi soal kemanusiaan,” papar Eko.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Ancaman Baru, Perubahan Iklim Perluas Habitat Nyamuk Malaria
Ancaman Baru, Perubahan Iklim Perluas Habitat Nyamuk Malaria
Pemerintah
Ironis, Tembok Alami di Pesisir Selatan Jawa Kian Terkikis Tambang Pasir
Ironis, Tembok Alami di Pesisir Selatan Jawa Kian Terkikis Tambang Pasir
Pemerintah
Maybank Group Alokasikan Rp 322 Triliun untuk Pendanaan Berkelanjutan
Maybank Group Alokasikan Rp 322 Triliun untuk Pendanaan Berkelanjutan
Swasta
Sampah Campur dan Kondisi Geografis Bikin Biaya Daur Ulang di RI Membengkak
Sampah Campur dan Kondisi Geografis Bikin Biaya Daur Ulang di RI Membengkak
Swasta
Kemenperin Setop Insentif Impor EV CBU Demi Genjot Hilirisasi Nikel
Kemenperin Setop Insentif Impor EV CBU Demi Genjot Hilirisasi Nikel
Pemerintah
Tak Hanya EV, Sektor Metalurgi Hijau Bisa Dongkrak Hilirisasi Nikel
Tak Hanya EV, Sektor Metalurgi Hijau Bisa Dongkrak Hilirisasi Nikel
LSM/Figur
Studi: Masyarakat Salah Paham Tentang Dampak Lingkungan Makanan Sehari-hari
Studi: Masyarakat Salah Paham Tentang Dampak Lingkungan Makanan Sehari-hari
Pemerintah
Kisah Kakao Kampung Merasa di Berau, Dulu Dilarang Dimakan Kini Jadi Cuan
Kisah Kakao Kampung Merasa di Berau, Dulu Dilarang Dimakan Kini Jadi Cuan
Swasta
UNICEF Peringatkan Ada 600 Juta Anak Berpotensi Terpapar Kekerasan di Rumah
UNICEF Peringatkan Ada 600 Juta Anak Berpotensi Terpapar Kekerasan di Rumah
Pemerintah
Survei Morgan Stanley: 80 Persen Investor Siap Tambah Alokasi Investasi Berkelanjutan
Survei Morgan Stanley: 80 Persen Investor Siap Tambah Alokasi Investasi Berkelanjutan
Pemerintah
Maybank Gandeng YKAN Berdayakan Petani Kakao Perempuan di Berau
Maybank Gandeng YKAN Berdayakan Petani Kakao Perempuan di Berau
Swasta
Dukung Pemerintah Bangun 33 PLTSa pada 2029, PLN Siap Jadi Kunci Ekosistem 'Waste-to-Energy'
Dukung Pemerintah Bangun 33 PLTSa pada 2029, PLN Siap Jadi Kunci Ekosistem "Waste-to-Energy"
BUMN
Ruang Terbuka Hijau untuk Lindungi Kesehatan Mental Seluruh Dunia
Ruang Terbuka Hijau untuk Lindungi Kesehatan Mental Seluruh Dunia
Pemerintah
Perubahan Iklim di Pegunungan Melesat Cepat, Ancam Miliaran Orang
Perubahan Iklim di Pegunungan Melesat Cepat, Ancam Miliaran Orang
LSM/Figur
Dorong Praktik Hotel Berkelanjutan, Swiss-Belhotel International Indonesia Targetkan 100 Persen Telur Bebas Kandang pada 2035
Dorong Praktik Hotel Berkelanjutan, Swiss-Belhotel International Indonesia Targetkan 100 Persen Telur Bebas Kandang pada 2035
Advertorial
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau