Fakta bahwa (1) perusahaan beroperasi di sana, dan (2) bencana terjadi menyebabkan kerugian, sudah cukup untuk memaksa perusahaan membayar ganti rugi penuh dan pemulihan ekologis.
Asas ini sudah ada di UU PPLH kita (Pasal 88), namun penerapannya masih sangat minim dan seringkali kalah di pengadilan oleh dalih "bencana alam".
Kita harus mendesak Mahkamah Agung untuk menerbitkan pedoman bahwa dalam kasus bencana hidrometeorologi di wilayah konsesi, beban pembuktian harus dibalik (reverse burden of proof): Perusahaanlah yang harus membuktikan bahwa mereka tidak bersalah, bukan sebaliknya.
Terakhir, Puing-puing rumah di pesisir Sumatra dan lumpur yang menimbun jalanan adalah "Tempat Kejadian Perkara" (TKP). Ini adalah bukti kegagalan kita mengendalikan sisi gelap teknologi ekstraktif. Indonesia tidak perlu menciptakan roda baru. Instrumen hukum dari Brazil, Eropa, hingga Amerika (Lacey Act) sudah tersedia sebagai rujukan.
Pilihan kini ada di tangan pemerintah: Terus bersembunyi di balik narasi "takdir Tuhan", atau mulai mengadopsi hukum progresif untuk menyeret para penjahat teknologi ekologis ini ke pengadilan. Sumatra butuh keadilan, bukan sekadar bantuan sembako.
Baca juga: Pemerintah Bakal Telusuri Pembalak Liar yang Bikin Banjir Sumatera
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya