JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan industri bahan bakar nabati atau biofuel di Indonesia dinilai masih mengabaikan petani.
Sektor hulu sebagai penyedia bahan baku untuk bioetanol didominasi oleh pertanian rakyat dengan komoditas tebu, singkong, atau sorgum. Namun, kegiatan produksi, distribusi, dan pemanfaatan bioetanol pada sektor hilir dikelola oleh perusahaan skala besar.
Baca juga:
Petani belum menjadi aktor sentral yang harus memperoleh nilai tambah optimal dari rantai pasok bioetanol.
Padahal, keberhasilan pembangunan industri bioetanol tidak hanya diukur dari volume produksinya saja. Keberhasilan pembangunan industri bioetanol juga diukur dari dampak sosio-ekonominya terhadap petani.
Peneliti dari Pusat Studi Energi UGM, Irham menilai, persaingan kepentingan antara pangan dengan energi atau bioetanol dari tebu tergolong kecil. Yang diolah menjadi bioetanol dari tebu adalah produk sampingannya (byproduct) yaitu molase atau tetes tebu dan bagasse atau ampas tebu.
"Jadi begitu bioetanol ini kita leverage (perbesar daya ungkitnya atau potensi keuntungan), ya otomatis petani akan senang. Karena molasenya itu bisa dibeli dengan harga yang lebih tinggi," ujar Irham di Jakarta, Senin (8/11/2025).
Ia mengkritik cara berpikir ekstensifikasi atau perluasan lahan perkebunan tebu oleh pemerintah untuk peningkatan produksi bioetanol. Menurut dia, intensifikasi lahan perkebunan tebu di Indonesia saja sampai sekarang belum dioptimalkan.
"Potensi fakta tebu kita hanya sepertiganya saja (yang dimanfaatkan), kenapa tidak kita tingkatkan, terutama (perkebunan) milik petani. Singkong juga sama, (hanya) sepertiga dari potensi, bibit, varietasnya, dan seterusnya itu tidak (sesuai) standar," tutur Irham.
Baca juga:
Bulir sorgum.Petani menanam tebu dengan cara di-ratoon atau dibiarkan tumbuh kembali usai panen. Saat ratoon dilakukan terus-menerus, hasil rendaman dari tebu sangat rendah.
Menurut Irham, tingkat pendidikan petani di Indonesia relatif rendah sehingga sistem penyuluhan untuk meng-upgrade pengetahuan perlu diperkuat.
Ia berharap setiap perusahaan mempunyai penyuluh yang mampu menjelaskan untung-rugi dan peluang-risiko moral hazard menjadi bagian dari rantai pasok bioetanol.
Irham menganggap kesenjangan pengetahuan petani dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi tebu, singkong, dan sorgum untuk bioetanol perlu diakhiri.
"Gimana para penyuluh sekarang sudah melempem, itulah kenapa petani tidak pernah di-upgrade. Gap knowledge di tebu dan singkong juga besar, apalagi di sorgum," ucapnya.
Tanaman sorgum tumbuh di lingkungan Kampung Wisata Batik Kauman Solo, Jawa Tengah, Rabu (1/10/2025).Para petani sebenarnya dapat meningkatkan produktivitas perkebunan tebu, singkong, atau sorgum mereka untuk berkontribusi terhadap ketersediaan bahan baku etanol.
Intervensi pemerintah dibutuhkan untuk menggenjot produktivitas pertanian rakyat ini. Apalagi, proyek biofuel lebih ramah terhadap petani daripada biosolar.
"Kalau ngomong biofuel itu sebetulnya menurut saya jauh lebih bermanfaat daripada biosolar karena pemainnya itu bisa datang dari petani (yang) lahannya bisa kecil. Sebetulnya biosolar itu sangat baik, sayangnya pemainnya banyak yang besar-besar," ujar Direktur Utama Medco Papua dan Komisaris Utama Medco Ethanol Lampung, Budi Basuki.
Menurut dia, industri biofuel, terutama bioetanol, bisa didesain untuk memposisikan pemain besar dan pemain kecil lebih adil.
Baca juga:
"Kalau memang pemerintah itu bisa membantu menyediakan lahan kepada petani kecil, dijadikan (model) plasma dan inti, saya rasa feedstock (bahan baku) ini bisa turun (harganya) karena memang harus diakui produktivitas yang dilakukan oleh plasma itu masih lebih rendah, tapi kalau diblending dengan lahan yang disediakan pemerintah itu sebenarnya harganya masih lebih baik," jelas Budi.
Menurut Budi, sebenarnya tidak ada persaingan kepentingan antara pangan dan energi dalam hal ini untuk bioetanol, dalam pengelolaan tebu, singkong, dan sorgum.
Berkaca dari pengalaman sawit, Crude Palm Oil (CPO) bisa dipakai untuk kepentingan pangan maupun energi. Bahkan, produksinya justru naik dan harga CPO lebih terjadi.
"Di Amerika juga seperti itu, ketika produksi etanol itu, jagung dipakai etanol, pemakaian lahannya bukan naik, tapi malah turun. Jadi kekhawatiran ada ekspansi (perluasan lahan atau ekstensifikasi) itu enggak terjadi," ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya