KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyampaikan, operasional 13 perusahaan memicu bencana banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dari Selasa (25/11/2025) sampai Kamis (27/11/2025). Walhi pun mendesak Kementerian Kehutanan untuk mencabut izin di sektor kehutanan di wilayah tersebut.
Kepala Divisi Kampanye Walhi, Uli Artha Siagian menyebut perusahaan tersebut bergerak di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan yang menyebabkan rusaknya hutan sehingga daya tampungnya menurun.
Baca juga:
Menurut Uli, aktivitas ilegal di tiga provinsi itu sudah terjadi sejak belasan tahun lamanya, mengakibatkan kerusakan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) mencapai 889.125 hektar lalu memicu banjir.
"Hal yang memalukan adalah mengapa Kementerian Kehutanan maupun kepolisian tidak melakukan penegakan hukum yang tegas. Apabila tindakan ilegal ini ditindak sejak dahulu, dampak besar seperti yang terjadi saat ini kemungkinan besar tidak akan terjadi,” kata Uli dalam keterangannya, Selasa (9/12/2025).
Foto udara kondisi jalan yang putus akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). Bencana banjir bandang yang terjadi pada Selasa (25/11) lalu menyebabkan rumah warga rusak, kendaraan hancur, jalan dan jembatan putus.Walhi mencatat, terdapat 62 aktivitas penambangan emas tanpa izin di Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung, Sumbar.
Selain itu, 5.208 hektar hutan di Aceh berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Aktivitas perusahaan juga merusak 954 DAS di Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Besar, yang 60 persen di antaranya berada dalam area hutan.
Oleh sebab itu, Walhi mendesak Kementerian Kehutanan segera mencabut semua perizinan di sektor kehutanan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat secara transparan.
Kementerian Kehutanan juga harus menindak tegas aktivitas pertambangan ilegal dan perkebunan kelapa sawit.
Berdasarkan Pasal 72 Undang-Undang Kehutanan, Menteri Kehutanan dapat menggunakan kewenangannya untuk mewakili kepentingan masyarakat, dan memaksa perusahaan perusak hutan bertanggung jawab. Termasuk membayar kerugian masyarakat dan memulihkan hutan sebagai sumber kehidupan.
Menurut Uli, mekanisme ini harus bermuara pada pemulihan lingkungan dan memberikan hak masyarakat.
"Bukan justru melanggengkan praktik ilegal sebagaimana terjadi pada Satgas PKH (Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan dan Pertambangan) yang terbukti membiarkan perkebunan kelapa sawit ilegal terus berlangsung di kawasan hutan," tutur dia.
Uli menegaskan, masyarakat akan terus menanggung dampak buruk dari perusahaan yang tak bertanggung jawab apabila pemerintah tidak melakukan penegakan hukum administrasi, pidana, dan perdata.
Ia tak menutup kemungkinan, kejadian serupa bakal terjadi di wilayah lainnya.
Baca juga:
Foto udara tumpukan gelondongan kayu di permukiman di Tabiang Bandang Gadang, Nanggalo, Padang, Sumatera Barat, Selasa (9/12/2025). Gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang sejak dua pekan lalu masih tersangkut di wilayah itu. Sebelumnya, Kementerian Kehutanan mengidentifikasi 12 subyek hukum yang terindikasi melakukan pembalakan di daerah aliran sungai di Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Empat di antaranya telah disegel.
Penyegelan dilakukan di dua titik yaitu di konsesi usaha korporasi PT TPL dan di lokasi pemegang hak atas tanah atas nama JAM, AR, dan DP.
Ke-12 subyek hukum tersebut dimintai keterangan oleh Kementerian Kehutanan pada Selasa (9/12/2025).
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup memeriksa delapan perusahaan yang berada di daerah aliran Sungai Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Pemanggilan dilakukan usai Kementerian Lingkungan Hidup mengkaji analisis citra satelit untuk memproyeksikan peristiwa di daerah bencana, terutama saat hujan deras terjadi.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya