BANJIR bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dalam beberapa bulan terakhir kembali membuka luka lama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Air bah yang datang tiba tiba, membawa material lumpur, potongan kayu, serta puing permukiman, tidak hanya menelan korban jiwa manusia tetapi juga menyeret satwa liar ke dalam pusaran nestapa.
Di Aceh, perhatian publik tersita ketika sejumlah gajah Sumatera kembali dikerahkan untuk membantu membersihkan puing setelah banjir. Kehadiran gajah di tengah tumpukan reruntuhan memang menghadirkan pemandangan yang menggetarkan. Namun di balik itu, muncul pertanyaan etis dan ekologis yang tidak bisa diabaikan.
Apakah penggunaan gajah sebagai tenaga bantuan darurat benar benar mencerminkan kepedulian, atau justru menambah daftar panjang eksploitasi terhadap satwa yang kian terancam punah ini?
Gajah Sumatera hidup dalam tekanan yang semakin berat. Populasinya terus menurun akibat penyusutan habitat, fragmentasi hutan, dan perburuan. Banjir bandang yang terjadi di Aceh dan beberapa wilayah lain di Sumatera tidak dapat dipisahkan dari rusaknya daerah penyangga ekologis.
Laju deforestasi yang tinggi melemahkan kapasitas alam dalam menahan curah hujan yang ekstrem. Ketika hutan kehilangan tutupan, air meluncur cepat dari perbukitan menuju dataran rendah tanpa hambatan. Bencana ekologis ini bukan hanya persoalan alam semata, melainkan cermin dari pola pembangunan yang mengejar pertumbuhan jangka pendek dan mengorbankan keberlanjutan jangka panjang.
Baca juga: Kemenhut Buka Suara Soal Peran Gajah di Pidie Jaya: Prioritaskan Keselamatan Satwa dan Warga
Hubungan antara degradasi ekologis dan eksposur satwa liar terhadap risiko bencana telah lama dipetakan dalam kajian ekologi lanskap. Habitat gajah yang terpotong potong membuat mereka tidak lagi memiliki ruang jelajah yang memadai. Ketika bencana terjadi, gajah berada dalam posisi paling rentan. Mereka tidak hanya kehilangan sumber pakan tetapi juga terpapar pada situasi yang tidak alami seperti keramaian manusia, polusi suara, dan tumpukan puing yang berpotensi melukai.
Di tengah tekanan ini, penggunaan gajah sebagai tenaga pembersih pasca bencana perlu ditelaah secara kritis.
Praktik penggunaan gajah untuk kepentingan manusia sebenarnya bukan hal baru. Di Aceh, gajah memang telah lama dilatih untuk membantu patroli hutan dan mitigasi konflik manusia satwa. Dalam banyak kasus, gajah jinak yang berada di bawah Unit Konservasi Gajah berperan membantu menghalau kawanan liar agar tidak mendekati permukiman.
Namun pengerahan gajah ke lokasi pembersihan puing akibat banjir memiliki dimensi berbeda. Tugas ini bukan bagian dari perilaku alamiah mereka. Gajah dipaksa bergerak di antara besi bengkok, atap seng, kabel listrik, hingga sisa kayu yang tajam. Kondisi ini mengundang risiko cedera fisik serta stres psikologis yang dapat mengganggu kesejahteraan gajah dalam jangka panjang.
Dalam pendekatan etika konservasi, prinsip dasar yang harus dijaga adalah kesejahteraan satwa dan ketepatan konteks pemanfaatan. Gajah bukan alat berat. Mereka adalah makhluk hidup dengan kapasitas kognitif kompleks, emosi yang peka, dan ikatan sosial yang kuat.
Mendasarkan praktik pembersihan puing pada tubuh gajah berarti memindahkan risiko dari manusia ke satwa yang justru harusnya dilindungi. Argumentasi bahwa gajah digunakan karena dianggap lebih aman atau efisien perlu diuji dengan data yang objektif.
Di banyak negara, pembersihan pasca bencana lebih mengutamakan mesin dan peralatan yang memang dirancang untuk menanggung risiko struktur rusak.
Baca juga: Gajah Kerja Pascabanjir Sumatera, Apakah Etis? Ahli: Jangan Sampai Jadi Eksploitasi
Kajian akademik mengenai kesejahteraan satwa menunjukkan bahwa paparan pada lingkungan berbahaya dapat meningkatkan hormon stres dan mempengaruhi kesehatan jangka panjang. Bagi gajah, kondisi ini dapat memperburuk kerentanan terhadap penyakit.
Risiko lainnya adalah perubahan perilaku karena interaksi dengan material asing yang tidak dikenal dalam konteks alamiah mereka. Pada titik tertentu, penggunaan gajah bisa menyeberang dari tindakan penyelamatan menjadi bentuk eksploitasi terselubung yang dikemas sebagai kepedulian.
Namun perdebatan ini bukan bermaksud menyalahkan lembaga atau warga yang berupaya menangani situasi darurat. Masyarakat Aceh memiliki sejarah panjang hidup berdampingan dengan gajah. Dalam kondisi darurat, pilihan sumber daya sering sangat terbatas. Yang perlu diperkuat adalah perspektif ekologis yang lebih utuh.
Banjir bandang tidak muncul dari ruang kosong. Ia merupakan akumulasi kerusakan hutan yang terus berlangsung. Ketika tutupan hutan di hulu menipis, bukan hanya manusia di hilir yang terdampak. Satwa liar pun kehilangan benteng terakhirnya. Penanganan bencana di wilayah yang memiliki populasi satwa dilindungi seharusnya mengintegrasikan manajemen habitat, perlindungan satwa, serta keselamatan manusia.
Ketika gajah dikerahkan, seharusnya ada standar operasional yang memastikan keselamatan mereka. Misalnya memastikan tidak ada material berbahaya di jalur kerja, meminimalisir paparan kebisingan, dan membatasi waktu kerja agar tidak memicu stres. Pemantauan oleh dokter hewan konservasi juga menjadi keharusan.
Gajah bukan sekadar ikon eksotis, mereka adalah penentu keseimbangan ekologi di lanskap Sumatera. Bencana ekologis yang berulang harus menjadi peringatan bagi para pengambil kebijakan. Penguatan kebijakan tata kelola hutan, peningkatan kapasitas mitigasi risiko, serta strategi konservasi jangka panjang mendesak untuk dilakukan.
Pendekatan ini tidak hanya melindungi manusia dari ancaman banjir tetapi juga menjamin keberlanjutan populasi gajah. Satwa ini memiliki peran penting sebagai penyebar biji dan pembentuk struktur hutan. Hilangnya gajah akan mempercepat kerusakan hutan dan memperburuk risiko bencana di masa depan.
Dalam perspektif sosial lingkungan, penggunaan gajah dalam penanganan banjir juga menjadi simbol relasi yang timpang antara manusia dan alam. Ia mencerminkan bagaimana kerusakan ekologis memaksa satwa liar ikut menanggung akibat dari pilihan manusia. Dalam jangka panjang, narasi ini dapat mengaburkan akar masalah dengan memusatkan perhatian pada tindakan reaktif, bukan pada penyebab struktural dari kerusakan lingkungan.
Komitmen untuk melindungi gajah bukan semata soal konservasi satwa. Ia adalah bagian dari upaya lebih luas untuk merawat tata kelola hutan dan keadilan ekologis.
Ketika gajah dipaksa membantu membersihkan puing puing, kita sesungguhnya sedang membaca ulang relasi manusia dan alam dalam keadaan paling rentan. Banjir bandang adalah peringatan keras bahwa kita telah melewati batas batas yang dulu menjadi penyangga keseimbangan. Keterlibatan gajah dalam penanganan bencana adalah cerita tentang ketahanan sekaligus ketidakberdayaan.
Pada akhirnya, nasib gajah Sumatera harus dibaca sebagai cermin kerusakan yang lebih besar. Mereka tidak boleh menjadi korban kedua setelah manusia. Perlu ada keberanian untuk merombak cara kita memandang bencana, tidak hanya sebagai kejadian alam tetapi sebagai akibat dari keputusan pembangunan.
Dari hulu sampai hilir, pembenahan ekologi harus menjadi prioritas bersama. Ketika alam pulih, manusia pun pulih. Dan ketika hutan kembali kuat, gajah Sumatera tidak harus lagi menanggung beban atas bencana yang bukan mereka sebabkan.
Baca juga: Kenapa Gajah Tidak Boleh Ditunggangi? Ini Penjelasannya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya