Banjir bandang tidak muncul dari ruang kosong. Ia merupakan akumulasi kerusakan hutan yang terus berlangsung. Ketika tutupan hutan di hulu menipis, bukan hanya manusia di hilir yang terdampak. Satwa liar pun kehilangan benteng terakhirnya. Penanganan bencana di wilayah yang memiliki populasi satwa dilindungi seharusnya mengintegrasikan manajemen habitat, perlindungan satwa, serta keselamatan manusia.
Ketika gajah dikerahkan, seharusnya ada standar operasional yang memastikan keselamatan mereka. Misalnya memastikan tidak ada material berbahaya di jalur kerja, meminimalisir paparan kebisingan, dan membatasi waktu kerja agar tidak memicu stres. Pemantauan oleh dokter hewan konservasi juga menjadi keharusan.
Gajah bukan sekadar ikon eksotis, mereka adalah penentu keseimbangan ekologi di lanskap Sumatera. Bencana ekologis yang berulang harus menjadi peringatan bagi para pengambil kebijakan. Penguatan kebijakan tata kelola hutan, peningkatan kapasitas mitigasi risiko, serta strategi konservasi jangka panjang mendesak untuk dilakukan.
Pendekatan ini tidak hanya melindungi manusia dari ancaman banjir tetapi juga menjamin keberlanjutan populasi gajah. Satwa ini memiliki peran penting sebagai penyebar biji dan pembentuk struktur hutan. Hilangnya gajah akan mempercepat kerusakan hutan dan memperburuk risiko bencana di masa depan.
Dalam perspektif sosial lingkungan, penggunaan gajah dalam penanganan banjir juga menjadi simbol relasi yang timpang antara manusia dan alam. Ia mencerminkan bagaimana kerusakan ekologis memaksa satwa liar ikut menanggung akibat dari pilihan manusia. Dalam jangka panjang, narasi ini dapat mengaburkan akar masalah dengan memusatkan perhatian pada tindakan reaktif, bukan pada penyebab struktural dari kerusakan lingkungan.
Komitmen untuk melindungi gajah bukan semata soal konservasi satwa. Ia adalah bagian dari upaya lebih luas untuk merawat tata kelola hutan dan keadilan ekologis.
Ketika gajah dipaksa membantu membersihkan puing puing, kita sesungguhnya sedang membaca ulang relasi manusia dan alam dalam keadaan paling rentan. Banjir bandang adalah peringatan keras bahwa kita telah melewati batas batas yang dulu menjadi penyangga keseimbangan. Keterlibatan gajah dalam penanganan bencana adalah cerita tentang ketahanan sekaligus ketidakberdayaan.
Pada akhirnya, nasib gajah Sumatera harus dibaca sebagai cermin kerusakan yang lebih besar. Mereka tidak boleh menjadi korban kedua setelah manusia. Perlu ada keberanian untuk merombak cara kita memandang bencana, tidak hanya sebagai kejadian alam tetapi sebagai akibat dari keputusan pembangunan.
Dari hulu sampai hilir, pembenahan ekologi harus menjadi prioritas bersama. Ketika alam pulih, manusia pun pulih. Dan ketika hutan kembali kuat, gajah Sumatera tidak harus lagi menanggung beban atas bencana yang bukan mereka sebabkan.
Baca juga: Kenapa Gajah Tidak Boleh Ditunggangi? Ini Penjelasannya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya