Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Pemerintah Indonesia menargetkan pengakuan sekitar 1,4 juta hektare hutan adat dalam empat tahun ke depan, dengan dukungan satuan tugas khusus yang dibentuk sejak Maret 2025 dan melibatkan NGO, akademisi, serta perwakilan masyarakat adat.
Langkah ini krusial, sebab berbagai kajian menunjukkan bahwa wilayah yang dikelola masyarakat adat cenderung lebih terjaga. Laporan World Resources Institute (WRI), misalnya, mencatat laju deforestasi di kawasan adat jauh lebih rendah dibandingkan wilayah di luar pengelolaan adat.
Pemberian hak kelola tersebut bukan hanya persoalan keadilan sosial, melainkan juga strategi penting mitigasi krisis iklim. Seperti ditegaskan oleh Kementerian Kehutanan, hutan tropis merupakan benteng iklim dunia, dan masyarakat adat adalah penjaga terdepan benteng tersebut. Karena itu, pengakuan perlu diikuti dengan dukungan konkret.
Pemerintah kini menyiapkan dua skema pendanaan pasca-pengakuan hutan adat, yakni hibah kelembagaan dan kredit perbankan berbunga rendah. Di saat yang sama, akses pasar bagi produk masyarakat adat diperluas melalui kerja sama dengan KADIN, sehingga hasil hutan dan pertanian adat dapat memiliki nilai ekonomi tanpa harus mengorbankan kelestarian hutan.
Di tingkat tapak, masyarakat adat juga bergerak aktif memperkuat ketahanan pangan dan konservasi secara mandiri. Di Riau, misalnya, pemuda adat Sakai menghidupkan kembali padi lokal buung dan tanaman buah melalui tradisi besolak atau gotong royong.
Inisiatif serupa tumbuh di banyak daerah melalui ekowisata berbasis komunitas, pertanian organik tradisional, gerakan konsumsi lokal, hingga kampanye pengurangan sampah. Semua praktik ini menunjukkan bahwa pengelolaan alam yang lestari tidak bertentangan dengan kemajuan, melainkan justru lahir dari perpaduan pengetahuan tradisional, inovasi, dan dukungan kebijakan.
Pendekatan tradisional tidak menjadi penghalang bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan teknologi modern dalam upaya konservasi. Di berbagai wilayah, komunitas adat kini menggunakan pemetaan berbasis GPS untuk mendokumentasikan batas wilayah adat sekaligus mencegah perambahan hutan ilegal.
Pemanfaatan drone dan sensor lingkungan juga mulai berkembang untuk memantau kondisi hutan secara real time, sehingga keputusan pengelolaan sumber daya dapat dibuat secara lebih akurat dan berbasis data. Perpaduan antara pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun dengan teknologi mutakhir ini menjadikan upaya perlindungan alam semakin efektif dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Peran generasi muda adat semakin menonjol dalam gerakan lingkungan hidup. Banyak pemuda terlibat aktif dalam advokasi kebijakan, termasuk gugatan iklim sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan publik yang abai terhadap masa depan ekologis.
Di tingkat lokal, praktik berkelanjutan juga tumbuh pesat, mulai dari gaya hidup minim sampah, riset energi terbarukan skala desa, hingga pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah adat. Dalam proses ini, komunitas adat dan masyarakat perkotaan saling belajar, tradisi lokal diperkaya inovasi, sementara teknologi dan kampanye modern mendorong transformasi kebiasaan menuju pola hidup yang lebih hijau.
Baca juga: 20 Negara Paling Rawan Bencana Alam, Indonesia Nomor 2
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya