JAKARTA, KOMPAS.com - Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut ada celah pelanggaran atau potensi korupsi dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 36 Tahun 2025 tentang Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan.
Berdasarkan riset FWI, SK Menhut 36/2025 masih memperlihatkan lemahnya konsistensi hukum dan transparansi perizinan. SK Menhut 36/2025 juga masih membuka ruang bagi praktik rente dan pemutihan yang merugikan kepentingan publik.
Baca juga:
Menurut Staf Divisi Komunikasi, Kerja Sama, dan Kebijakan FWI, Respati Bayu Kusuma, terdapat sejumlah titik rawan yang berpotensi menjadi celah pelanggaran atau korupsi. Simak selengkapnya.
Pertama, pada tahap pengajuan izin lokasi atau izin usaha perkebunan (IUP) ke pemerintah daerah yang disertai AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), rekomendasi teknis, serta izin pelepasan kawasan jika ada.
Titik rawan pada tahap ini adalah dokumen palsu atau manipulasi izin keluar meski di hutan lindung atau kawasan konservasi.
"Temuan ini mungkin relevan dengan apa? Dalam beberapa waktu belakangan, Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) menggeledah Kementerian Kehutanan, eselon 1, dan eselon 2, di Direktorat Planologi terkait alih fungsi hutan untuk sawit," ujar Respati dalam webinar, Senin (15/12/2025).
Celah kedua ada pada tahap verifikasi lapangan, dengan tim terpadu yang terdiri dari Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan pemerintah daerah mengecek kondisi lapangan.
Titik rawan pada tahap ini adalah manipulasi laporan verifikasi karena lemahnya pengawasan lapangan.
Baca juga:
Berdasarkan riset FWI, SK Menhut 36/2025 memperlihatkan lemahnya konsistensi hukum dan transparansi perizinan, sekaligus menjadi celah pelanggaran.Selanjutnya ada pada tahap persetujuan prinsip, yang mana gubernur atau bupati memberikan rekomendasi sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan hasil verifikasi.
Titik rawan pada tahap ini adalah ketidaksesuaian RTRW dimanfaatkan untuk gratifikasi atau izin ilegal.
Keempat ada pada tahap penetapan areal pelepasan, yang mana Menhut menerbitkan SK pelepasan kawasan hutan (HPK/HTR tertentu).
Titik rawan pada tahap ini adalah SK pelepasan keluar tanpa prosedur lengkap atau tekanan politik.
Terakhir adalah pada tahap IUP dengan pemerintah daerah atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menerbitkan IUP dan BPN menerbitkan hak gua usaha (HGU).
Titik rawan pada tahap ini adalah suap atau gratifikasi untuk izin terbit meski konflik lahan belum selesai.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya