Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
INDONESIA dikenal sebagai negara maritim tropis yang subur hujan, apalagi menjelang puncak musim hujan setiap akhir tahun.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, fenomena siklon tropis yang biasanya jarang melintas di sekitar wilayah kita semakin sering mendekat atau berdampak secara tidak langsung terhadap kondisi cuaca Indonesia.
Walhasil, hujan ekstrem, banjir bandang, tanah longsor, gelombang tinggi, dan bencana hidrometeorologi lainnya menjadi semakin mengkhawatirkan—tidak hanya sebagai statistik meteorologis, tetapi kejadian nyata yang menelan korban jiwa dan penderitaan kemanusiaan.
Fenomena ini menarik untuk dianalisis secara luas: apa sebenarnya siklon tropis, mengapa belakangan ini semakin berdampak di Indonesia, dan apa yang harus dilakukan masyarakat dan negara untuk menghadapi ancaman yang semakin sering terjadi, terutama memasuki periode Natal–Tahun Baru?
Siklon tropis adalah sistem tekanan rendah yang terbentuk di atas perairan hangat di wilayah tropis, dengan pusaran angin kencang dan kapasitas untuk menghasilkan hujan deras serta gelombang laut ekstrem.
Secara teknis, fenomena ini merupakan sistem tekanan rendah non-frontal skala sinoptik dengan karakteristik awan konvektif yang kuat dan kecepatan angin signifikan di sekitar pusatnya.
Baca juga: Bencana Sumatera dan Dilema Diplomasi Indonesia
Tekanan udara pada pusatnya jauh lebih rendah daripada daerah sekitarnya, yang menyebabkan udara bergerak menuju pusat tekanan tersebut dan berputar karena pengaruh efek Coriolis dari rotasi Bumi. (BPBD Yogya, 2025) .
Adapun faktor utama yang memicu terbentuknya siklon tropis antara lain:
Dalam konteks global, siklon tropis dikenal dengan nama berbeda di berbagai samudera: hurricane di Atlantik/Timur Pasifik, typhoon di Pasifik barat, dan cyclone di Samudra Hindia dan Pasifik Selatan.
Indonesia berada di wilayah yang relatif dekat dengan garis ekuator, yang secara historis membuatnya kurang sering dilintasi pusat siklon.
Namun, bukan berarti aman sepenuhnya — karena dampak tidak langsung seperti hujan ekstrem tetap bisa muncul melalui interaksi atmosfer atau bibit siklon yang berkembang di perairan dekat Indonesia. (Kompas.com, 2025).
Indonesia memang bukan kawasan favorit lintasan pusat siklon tropis, terutama jika dibanding Jepang, Filipina, atau India.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, termasuk sepanjang 2025 ini, bukti nyata menunjukkan bahwa fenomena siklon semakin berdampak pada cuaca nasional, dengan siklon tropis atau bibitnya teridentifikasi di Samudra Hindia dan wilayah sekitar, memengaruhi curah hujan ekstrem di berbagai penjuru Nusantara. (Antaranews, 2025)
Salah satu contoh paling menonjol adalah Siklon Tropis Senyar yang terbentuk dari Bibit Siklon 95B di Selat Malaka pada akhir November 2025.
BMKG mencatat bahwa sistem ini berkembang di atas perairan hangat di selatan Aceh dan Sumatera Utara, sehingga membuka pasokan uap air sangat besar dan memicu hujan ekstrem di bagian utara Sumatera.
Akibatnya, hujan deras yang disertai angin kencang terjadi secara berkepanjangan di Aceh, Sumatera Utara, dan sekitarnya. (Kompas.com, 2025)
Baca juga: Bendera GAM dan Romantisme Luka Lama di Tengah Bencana
Tidak hanya itu. Dalam bulan Desember 2025, BMKG memantau beberapa sistem tekanan rendah atau bibit siklon seperti 96S dan 93S, yang berpotensi berkembang menjadi siklon tropis dan memengaruhi wilayah Indonesia melalui peningkatan curah hujan, gelombang tinggi, hingga angin kencang di perairan selatan dan pesisir barat Nusantara. (BMKG, 2025)
Laporan BMKG bahkan menyebut bahwa “Indonesia dikelilingi tiga sistem siklon tropis” menjelang pertengahan Desember, termasuk Kepulauan Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian Jawa.
Meskipun pusatnya tidak selalu bergerak langsung menuju daratan Indonesia, efek tidak langsung dari sistem ini menjadi pemicu utama hujan ekstrem di wilayah barat dan selatan kawasan kita. (Indonesian National Police, 2025)
Apa yang selama ini dipandang sekadar fenomena meteorologi kini berubah menjadi bencana nyata yang merenggut nyawa dan menghancurkan kehidupan jutaan orang.
Akhir November hingga awal Desember 2025, Indonesia mengalami salah satu bencana banjir terburuk dalam sejarah baru-baru ini.
Curah hujan yang luar biasa deras, yang dipicu oleh kombinasi musim monsun dan pengaruh Siklon Tropis Senyar, mengakibatkan banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. (TDMRC, 2025).
Menurut beberapa laporan internasional, ratusan hingga lebih dari enam ratus orang tewas, ribuan lainnya hilang, dan jutaan orang terdampak akibat banjir dan tanah longsor yang melanda Sumatera Utara dan Aceh.
Infrastruktur penting runtuh, permukiman terendam, dan ratusan ribu orang terpaksa dievakuasi akibat banjir yang tidak kunjung surut. (LeMonde, 2025)
Selain korban jiwa, kerusakan ekonomi dan sosial juga sangat besar. Jutaan rumah rusak atau terendam, lahan pertanian musnah, jaringan transportasi utama putus, dan harga kebutuhan pokok meningkat tajam di wilayah yang paling terdampak.
Ketika bencana meteorologi semacam ini terjadi, menjadi jelas bahwa persoalan cuaca ekstrem bukan sekadar masalah “alam”, tetapi risiko besar bagi ketahanan sosial, ekonomi, dan keselamatan rakyat.
Memasuki akhir tahun, pola cuaca tropis Indonesia biasanya berada di fase puncak musim hujan. Ini berarti zonasi konvergensi intertropis (zona pertemuan angin pasat) menempati wilayah Indonesia bagian selatan, yang memperkuat potensi pembentukan awan konvektif intens.
Jika disertai dengan keberadaan bibit siklon tropis di Samudra Hindia selatan, efeknya bisa menjadi sangat serius melalui peningkatan curah hujan, gelombang tinggi, dan angin kencang. (BMKG, 2025)
BMKG secara berkala memperingatkan bahwa akhir Desember hingga awal Tahun Baru 2026 berpeluang menghadirkan cuaca ekstrem akibat kombinasi faktor lokal dan global — termasuk monsun Asia, penguatan zona konvergensi, dan bibit siklon tropis yang terbentuk di perairan Samudra Hindia.
Secara historis, periode ini juga memicu banjir di daerah hilir sungai besar seperti Sumatra dan Jawa. (BMKG, 2025)
Baca juga: Bencana Sumatera dan Batas Klaim “Kita Mampu”
Dampak potensi ini bukan sekadar prediksi cuaca biasa. Sudah banyak sinyal bahwa Indonesia perlu peningkatan kesiapsiagaan skenario bencana yang lebih serius, bukan hanya respons pasca-bencana.
Siklon tropis sendiri bukan fenomena baru; namun intensitasnya dan frekuensi dampaknya terhadap Indonesia patut dicermati dalam konteks perubahan iklim global.
Suhu permukaan laut yang lebih hangat akibat pemanasan global menyediakan energi lebih besar bagi pembentukan storm system tropis.
Hal ini diperkuat oleh ilmuwan yang mencatat bahwa suhu laut yang meningkat membuat sistem tekanan rendah berkembang lebih cepat dan menghasilkan hujan lebih deras.
Selain itu, interaksi fenomena atmosfer seperti Madden–Julian Oscillation (MJO) dan gelombang ekuatorial juga memperbesar ketidakstabilan atmosfer di kawasan tropis seperti Indonesia, sehingga meningkatkan peluang kejadian hujan ekstrem. (Kompas, 2025)
Dalam laporan global maupun regional, polanya terlihat jelas: cuaca ekstrem menjadi lebih sering dan intens sebagai salah satu dampak nyata perubahan iklim.
Ini berarti Indonesia tidak bisa lagi bersikap pasif dalam menghadapi fenomena yang dulu dianggap jarang atau tidak relevan bagi wilayah kita.
Apa yang harus dilakukan?
Bagaimana sebenarnya Indonesia harus bersikap dalam menghadapi risiko siklon tropis dan cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi? Jawaban praktisnya harus melibatkan pendekatan dua arah: mitigasi jangka panjang dan adaptasi jangka pendek.
Pertama, peningkatan kapasitas sistem peringatan dini. Indonesia memiliki BMKG dan BNPB sebagai garda terdepan pemantauan cuaca dan mitigasi bencana. Namun, kapasitas ini perlu terus ditingkatkan melalui:
Kedua, peningkatan infrastruktur dan perbaikan tata ruang. Bencana banjir besar akhir tahun sering kali diperparah oleh masalah struktural seperti drainase buruk, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, dan kerusakan hutan. Solusi strategis meliputi:
Ketiga, pendidikan publik dan budaya siaga bencana. Seringnya bencana membuktikan bahwa masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam budaya kesiapsiagaan:
Keempat, kebijakan nasional menyikapi perubahan iklim. Fenomena siklon tropis dan cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim memerlukan jawaban kebijakan lebih luas:
Fenomena siklon tropis yang dulu dianggap “langka” kini menjadi kenyataan yang tak bisa diabaikan oleh Indonesia.
Curah hujan ekstrem, banjir bandang, dan kerusakan infrastruktur tidak lagi sekadar berita sesaat, tetapi gambaran nyata bagaimana perubahan alam berimplikasi langsung terhadap manusia.
Negara dan masyarakat harus bersama-sama bergerak — tidak hanya menunggu bencana, tetapi mempersiapkan diri, mencegah dampak lebih besar, dan membangun ketahanan masyarakat yang sejati.
Siklon tropis bukan hanya fenomena cuaca; ia adalah alarm bagi Indonesia untuk semakin cerdas, siap, dan tangguh di tengah dinamika iklim global yang semakin tidak menentu.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya