Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perdagangan Karbon Internasional di RI Sempat Terkendala Peraturan Ini

Kompas.com - 17/01/2025, 10:15 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan bahwa perdagangan karbon penting dilaksanakan sebagai upaya memangkas emisi gas rumah kaca (GRK), sekaligus membangun iklim perdagangannya.

Hal ini merupakan komitmen pemerintah, yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

"Insya Allah nanti tanggal 20 (Januari 225), kami akan melakukan launching terkait perdagangan internasional karbon. Ini banyak ditunggu banyak pihak, dan memang di dalam pelaksanaannya kami harus hati-hati," ungkap Hanif saat ditemui di Jakarta Pusat, Kamis (16/1/2025) malam.

Baca juga:

Menurut Hanif, perdagangan karbon telah dinantikan berbagai negara. Namun, pelaksanaannya cenderung lambat lantaran terkendala peraturan pada Pasal 6 ayat 2, Pasal 6 ayat 4, dan Pasal 6 ayat 8 Perjanjian Paris yang baru dinyatakan operasionalnya saat Conference of the Parties (COP) 29.

Untuk diketahui, Pasal 6 ayat 2 mengatur prosedur dan metode akuntansi, pelaporan, dan review bagi kerja sama internasional yang akan terjadi transfer unit reduksi emisi karbon sebagai hasil aksi mitigasi.

Pasal 6 ayat 4 menetapkan mekanisme serta aturan main perdagangan karbon secara internasional di bawah UNFCCC. Pasal 6 ayat 9 menekankan pentingnya kerja sama antarnegara dalam aksi iklim mitigasi maupun adaptasi.

"Kemarin agak lambat karena memang operasional dari artikel 6.2, 6.4, dan 6.8 dari Paris Agreement baru dinyatakan operasional pada saat COP 29 di Baku. Memang kami menunggu akselerasi itu, di dalam perdagangan karbon ini perlu otorisasi, perlu kemudian diakui oleh negara, baru kemudian kami lakukan," kata Hanif.

Dia menyebut, perdagangan karbon berpeluang mendongkrak investasi hijau, kemajuan teknologi, hingga kemitraan.

Hanif memastikan, setiap sertifikat yang dikeluarkan untuk perdagangan internasional telah disahkan agar mencegah penghitungan, pembayaran, maupun klaim ganda.

"Perdagangan karbon lebih dari sekadar mekanisme pasar, ini adalah jembatan antara pertumbuhan ekonomi dan pengelolaan lingkungan. Dengan menetapkan nilai pada emisi karbon dan menciptakan insentif untuk setiap aksi pengurangan emisi GRK, kita mengubah tantangan menjadi peluang," tutur Hanif.

"Sistem ini menghargai inovasi, mendorong pembangunan berkelanjutan, dan menciptakan platform bagi negara-negara untuk bekerja sama menuju masa depan rendah karbon," imbuh dia.

Baca juga:

Regulasi perdagangan karbon di Indonesia diatur dalam usulan revisi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian NDC.

Lalu, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Nilai Ekonomi Karbon di mana perdagangan karbon dapat dilaksanakan tanpa mengganggu proses di dalam maupun luar negeri.

"Di sektor FOLU (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) kami melihat potensi yang sangat besar untuk menyerap karbon, memulihkan ekosistem, dan mendorong kegiatan ekonomi yang berkelanjutan. Dari proyek reboisasi hingga upaya konservasi yang inovatif, kami mengubah aset hijau ini menjadi mesin perubahan," jelas Hanif.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Restorasi Situs Warisan Dunia di Burkina Faso Terancam Perubahan Iklim
Restorasi Situs Warisan Dunia di Burkina Faso Terancam Perubahan Iklim
LSM/Figur
Panas dan Kelembaban Ekstrem Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung
Panas dan Kelembaban Ekstrem Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung
Pemerintah
Rekor Iklim 2024, dari Suhu Panas Ekstrem hingga Amukan Badai
Rekor Iklim 2024, dari Suhu Panas Ekstrem hingga Amukan Badai
LSM/Figur
Studi: Air Tawar Dunia Menyusut, Sumbang Kenaikan Permukaan Laut Lebih Besar
Studi: Air Tawar Dunia Menyusut, Sumbang Kenaikan Permukaan Laut Lebih Besar
Pemerintah
Greenpeace: Kemerdekaan Sejati Butuh Keadilan Iklim, Presiden Mengabaikannya
Greenpeace: Kemerdekaan Sejati Butuh Keadilan Iklim, Presiden Mengabaikannya
LSM/Figur
ICJ Akui Krisis Iklim sebagai Isu HAM, Tapi Abaikan Hak Anak
ICJ Akui Krisis Iklim sebagai Isu HAM, Tapi Abaikan Hak Anak
Pemerintah
Subsidi Turun, Tarif Trump Menghantam, Tapi Penjualan EV Melonjak
Subsidi Turun, Tarif Trump Menghantam, Tapi Penjualan EV Melonjak
Swasta
SBTi: Target Emisi Industri Meroket, China Pimpin dengan 228 Persen
SBTi: Target Emisi Industri Meroket, China Pimpin dengan 228 Persen
Swasta
Rusa Kutub Diperkirakan Turun 84 Persen pada 2100 akibat Krisis Iklim
Rusa Kutub Diperkirakan Turun 84 Persen pada 2100 akibat Krisis Iklim
LSM/Figur
Jaga Kelestarian Hutan, Toba Pulp Lestari Raih Prima Wana Karya 2025
Jaga Kelestarian Hutan, Toba Pulp Lestari Raih Prima Wana Karya 2025
Swasta
HUT ke-80 RI, Pemprov DKI Kerahkan 1.800 Petugas Kebersihan
HUT ke-80 RI, Pemprov DKI Kerahkan 1.800 Petugas Kebersihan
Pemerintah
Pompa Tenaga Surya PIS Salurkan 5 Juta Liter Air Bersih bagi Petani Pedalaman Labuan Bajo
Pompa Tenaga Surya PIS Salurkan 5 Juta Liter Air Bersih bagi Petani Pedalaman Labuan Bajo
BUMN
Ide Baru: Ranting Anggur Jadi Pengganti Plastik, 17 Hari Terurai
Ide Baru: Ranting Anggur Jadi Pengganti Plastik, 17 Hari Terurai
LSM/Figur
Walhi Kritik Pemerintah: Gagah ke Petani, Loyo pada Korporat Pembakar Hutan
Walhi Kritik Pemerintah: Gagah ke Petani, Loyo pada Korporat Pembakar Hutan
LSM/Figur
Studi: Kematian akibat Karhutla 93 Persen Lebih Tinggi dari Perkiraan
Studi: Kematian akibat Karhutla 93 Persen Lebih Tinggi dari Perkiraan
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau