JAKARTA, KOMPAS.com - Krisis iklim mengancam kelangsungan aktivitas dan kehidupan manusia. Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalisasi dampaknya.
Salah satunya adalah dengan mengembangkan teknologi konstruksi bangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan yang menjadi sangat penting diterapkan.
Bahkan, lebih dari itu, kebijakan pelarangan penerbangan yang masih menggunakan bahan bakar fosil, adalah langkah fundamental yang lebih revolusioner diharapkan dapat diterapkan secara masif.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dengan fokus pada keberlangsungan lingkungan hidup, seperti Greenpeace, telah lama menyuarakan hal ini.
Bahkan, otoritas Bandara Schiphol Amsterdam melangkah lebih jauh dengan rencana menerapkan kebijakan pelarangan penerbangan jet pribadi yang ditargetkan akan dimulai pada 2026 nanti.
Baca juga: Siap-siap, Jet Pribadi Tak Bisa Lagi Mendarat di Schiphol Amsterdam
Bagaimana dengan Indonesia?
Bandar udara (bandara), adalah infrastruktur konektivitas yang kehadirannya vital dan memengaruhi mobilitas masyarakat. Seluruh kegiatan operasionalnya sangat memungkinkan untuk berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Terdapat empat aspek yang harus diperhatikan terkait pengembangan bandara berkelanjutan, yakni lingkungan, komunitas, ekonomi, dan operasional.
Empat aspek tersebut sangat menentukan apakah bandara tersebut layak dinilai sebagai bandara berkelanjutan atau tidak.
Dari keempat aspek tersebut, ada sejumlah fase implementasi (penerapannya) mulai dari perencanaan, pembangunan, operasional, dan perawatan.
Sejatinya, pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup bandara juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan.
Di samping itu, setiap bandara juga wajib menerapkan konsep bandara ramah lingkungan atau eco-airport.
Hal ini mengacu pada PP Nomor 40 tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara, dan Keputusan Dirjen Hubungan Udara Nomor SKEP/124/VI 2009 Tentang Eco Airport.
Eco-airport sendiri dapat diartikan sebagai bandara yang telah melakukan penaatan dalam pemenuhan standar lingkungan dan upaya menerapkan strategi lingkungan untuk konservasi sumber daya dan energi, menggiatkan konsep pengurangan, pemanfatan kembali, pendauran ulang, serta meningkatkan kreatifitas di bidang lingkungan
Contoh sederhananya, setiap limbah dari pesawat, dapur pesawat, makanan, dan terminal, semuanya harus melalui pengolahan limbah pada waste water treatment plant (WWTP).
Bandara berkelanjutan dengan pendekatan eco-airport memiliki beberapa program yang harus diterapkan.
Pertama, dekarbonisasi (net zero emissions). Seperti ACI Airport Carbon Accreditation, pendataan emisi bandar udara melalui tools ACERT, penggunaan LED, kendaraan listrik, dan energi terbarukan.
Kedua, desain bandara yang berkelanjutan secara fisik, yaitu penggunaan material daur ulang atau material yang dapat didaur ulang dalam membangun bandara, meminimalisir buangan limbah, serta penerapan smart building concept.
Ketiga, pengembangan bandara tanpa merusak alam dan biodiversitas daerah setempat. Hal ini meliputi pengawasan terhadap kebisingan, kualitas udara, emisi karbon, dan kemacetan akibat operasional bandara.
Ketiga, keberadaan bandara harus dapat meningkatkan kesehatan pegawai, masyarakat sekitar, dan pengguna.
Keempat, bandara harus dapat berperan lebih di tengah masyarakat (community engagement)i, dengan menyediakan lapangan kerja baru untuk masyarakat sekitar.
Sementara, Anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Dewanti menjelaskan beberapa hal terkait pengembangan bandara berkelanjutan.
Menurutnya, bandara harus bisa terlindung dari risiko perubahan iklim. Misalnya perubahan suhu, cuaca ekstrem, hingga gempa.
"Ini harus bisa disiapkan perubahan-perubahan ini," kata wanita juga Sekretaris Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Oktober 2022.
Kemudian, bandara harus menerapkan upaya dekarbonisasi (zero emisi). Salah satu yang penting ialah menggunakan angkutan massal saat menuju ke bandara. Kereta api atau bis bisa menjadi opsi angkutan massal yang dapat.
Selanjutnya, tak kalah penting adalah mendesain terminal yang bisa mengolah sampah atau limbah, serta tidak bertumpu pada pendingin udara dan pencahayaan memakan energi besar.
Menurutnya, kawasan bandara juga patut mendapat perhatian. Supaya pergerakan kendaraan untuk penumpang ataupun barang itu tidak terlalu banyak dan jauh.
Karena bila terlalu jauh, tentunya akan mengeluarkan energi dan emisi yang banyak.
"Sehingga pengembangan kawasan aetropolis menjadi satu upaya untuk meminimalkan pergerakan penumpang dan barang di kawasan bandara," terangnya.
Selain itu, memanfaatkan lahan parkir seminimal mungkin. Meskipun parkir memang jadi sumber revenue yang cukup besar di bandara. Seperti pertokoan, hiburan, hotel, dan sebagainya.
"Jika memperluas lahan parkir, artinya akan mengundang banyaknya penggunaan kendaraan pribadi. Dampaknya emisi, kemacetan, dan sebagainya," pungkas Dewanti.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya