PEMBAHASAN mengenai Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) terus dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu energi yang menjadi pembahasan adalah pembangkit listrik energi nuklir (PLTN).
Kompas.id pada Maret mewartakan, pemerintah maupun DPR sepakat membahas PLTN di dalam RUU EBET. Akan tetapi, perbincangan terhadap energi ini tetaplah bermunculan, terutama terkait penerimaan masyarakat.
Sejumlah pakar menilai, investasi untuk pembangunan PLTN cenderung mahal bila dibandingkan sumber energi lain.
Dikutip dari pemberitaan Kompas.id pada 29 Maret 2023, pakar energi Herman Darnel Ibrahim memaparkan bahwa berdasarkan risetnya di Eropa, investasi PLTN bisa mencapai 10 miliar dollar AS per 1.000 megawatt (MW). Angka termasuk termasuk dengan potensi penundaan konstruksi selama enam tahun.
Perbincangan mengenai PLTN kemungkinan akan terus bermunculan. Apalagi menyangkut limbah radioaktif dari PLTN yang tidak akan bisa terurai sampai ribuan tahun mendatang.
Di satu sisi, isu lain yang juga menarik untuk dibahas adalah, bila PLTN benar-benar dibangun di Indonesia, akan dibangun di mana?
Berbagai spekulasi mengenai lokasi PLTN sebenarnya sudah bermunculan. Akan tetapi, sejauh ini belum ada lokasi yang pasti di mana PLTN akan berdiri di Bumi Pertiwi ini.
Bila dilihat dari sudut pandang permintaan dan suplai, pembahasan mengenai lokasi PLTN memang perlu dikaji dengan cermat.
Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), total listrik yang didistribusikan secara nasional pada 2021 adalah sebesar 257.634 gigawatt-hour (GWh).
Dari total distribusi listrik ini, 179.084 GWh dikonsumsi oleh Pulau Jawa saja. Artinya, lebih dari 69 persen distribusi listrik hanya berpusat di Jawa.
Sisanya, yaitu 31 persen atau sekitar 78.549 GWh terdistribusi ke wilayah lain selain Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, dan lain-lain.
Belum lagi persoalan kelebihan daya yang terus diteriakkan PT PLN karena banyaknya pembangkit listrik di Jawa.
Dilansir dari pemberitaan Kompas.com, tahun 2022 kondisi kelebihan daya PLN mencapai 6 GW dan akan bertambah menjadi 7,4 GW pada 2023, bahkan diperkirakan mencapai 41 GW pada 2030.
Berkaca pada situasi tersebut, kehadiran PLTN di Indonesia perlu dipertimbangkan lebih jauh lagi. Jika dibangun di Pulau Jawa, potensi kelebihan daya akan semakin meningkat.
Di sisi lain, bila PLTN dibangun di luar Jawa, perlu ada dorongan permintaan karena konsumsi listrik di luar Jawa masih belum sebesar di Jawa.
Upaya mendorong permintaan listrik di luar Jawa salah satu contohnya adalah dengan membangun ekosistem industri yang mapan.
Industri bisa langsung memicu konsumsi listrik dan efek dominonya mengerek konsumsi rumah tangga karena tumbuhnya jumlah penduduk di kawasan industri.
Sepertinya, Pemerintah Indonesia cukup serius merealisasikan kehadiran PLTN. Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan PLTN berbasis thorium di Kepulauan Bangka Belitung.
Sementara itu, Kementerian ESDM juga berencana mengembangan PLTN terapung dengan teknologi small modular reactor yang bisa mobile.
Bahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Kementerian PPN/’Bappenas memasukkan energi nuklir dalam rencana jangka panjang Indonesia.
Rencana-rencana tersebut sulit tercapai tanpa adanya landasan yang kuat berupa undang-undang (UU).
Sebagaimana dijelaskan di awal artikel, RUU EBET tengah dikebut dan secara spesifik memasukkan energi nuklir. Jika RUU ini disahkan dan menjadi UU, pembangunan PLTN tentu akan mendapat pijakan yang kuat.
Dalam RUU EBET, nuklir dimasukkan ke dalam daftar “energi baru”. Dimasukkannya nuklir ke dalam energi baru dalam RUU EBET tentu ditentang oleh berbagai aktivis lingkungan.
Kalau disebut energi terbarukan, PLTN tidaklah berkelanjutan. Kalau disebut energi baru, PLTN sebenarnya tidak baru-baru amat.
Di sisi lain, pemanfaatan energi baru di Indonesia masih belum maksimal sejauh ini. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia menargetkan 23 persen energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional.
Dilihat dari kondisi saat ini, Dewan Energi Nasional dalam Outlook Energi Indonesia 2022 melaporkan bahwa porsi energi baru terbarukan baru sebesar 12,2 persen dalam bauran energi nasional.
Kontributor terbesar dalam bauran energi nasional masih dipegang batu bara dengan 37,6 persen, disusul minyak bumi 33,4 persen, dan gas bumi atau gas alam 16,8 persen.
Untuk diketahui, sumber energi terbarukan di Indonesia melimpah ruah. Contohnya energi surya dengan potensi energi 3.294 gigawatt (GW), panas bumi 23,9 GW, bayu atau angin 154,9 GW, dan hidro atau air 95,0 GW.
Di sisi lain, energi terbarukan seperti surya dan angin sangat intermitten dan produksi listriknya sangat dipengaruhi oleh cuaca.
Sedangkan sumber energi terbarukan yang lebih stabil seperti panas bumi mendapat resistensi di berbagai tempat.
Energi listrik yang dihasilkan PLTN relatif stabil. Teknologi ini bisa menjadi jembatan transisi energi ke energi yang jauh lebih bersih.
Saya tidak pro atau kontra terhadap PLTN. Pasalnya energi nuklir dan PLTN adalah salah satu bukti pencapaian besar umat manusia di bidang teknologi.
Akan tetapi, jika PLTN benar-benar dibangun, aspek keselamatan dan penanganan limbah radioaktif sudah sewajibnya benar-benar ditangani dengan betul.
Pasalnya, limbah radioaktif adalah hal yang paling berbahaya dari PLTN yang tidak akan bisa terurai hingga ribuan tahun mendatang.
Dan bila ditarik lagi ke transisi energi, izinkan saya mengutip pernyataan Direktur Program Just Transition iForest India Srestha Banerjee yang mengatakan bahwa transisi energi lebih cenderung ke urusan politik, bukan sepenuhnya masalah teknis.
Dan akankah PLTN akan segera hadir di Indonesia? Jawabannya tergantung pada keinginan politik di negeri ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya