JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Pesisir Lestari menggandeng Wokring Group ICCAs Indonesia (WGII) mengajak pemerintah dan masyarakat menjaga keanekaragaman hayati berkelanjutan,
Ajakan ini bersamaan momentumnya dengan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional atau International Biodiversity Day pada 22 Mei setiap tahunnya.
"Berikanlah ruang lebih luas pada pendekatan konservasi berbasis HAM," kata pernyataan tertulis Manager Advokasi Kebijakan dan Tata Kelola Yayasan Pesisir Lestari Rayhan Dudayev, Senin (22/5/2023).
Selain itu, keanekragaman hayati berkelanjutan juga berbasis semangat kolaborasi serta perhatian pada hak-hak adat dan lokal, termasuk di pesisir.
Baca juga: Aktivis Lingkungan Desak G7 Setop Pendanaan Energi Fosil
Pendekatan konservasi berbasis HAM tidak terlepas dari komitmen Indonesia mendukung implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).
Indonesia ikut menyepakati KM-GBF di dalam COP-15 Convention on Biological Biodiversity pada Desember 2022.
Temuan Yayasan Pesisir Lestari menunjukkan bahwa di Indonesia, nelayan skala kecil merupakan penyumbang 60 persen dari total produksi perikanan nasional.
Lebih dari 50 persen konsumsi protein warga Indonesia berasal dari makanan laut.
Dalam konteks konservasi, masyarakat adalah entitas yang paling dekat dengan wilayah konservasi. Masyarakat pun memiliki peran sentral berpartisipasi dalam menjaga dan mengelola kawasan secara efektif.
Fakta menunjukkan, masyarakat di Nusantara sudah melakukan berbagai praktik pengelolaan turun temurun.
Baca juga: Mengenal Tujuan 14 SDGs: Ekosistem Lautan
Rayhan mengungkapkan, di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, ada praktik parimpari berupa model pengelolaan dan konservasi berbasis adat dengan menutup suatu wilayah tertentu dan/atau melarang penangkapan spesies ikan dan/atau tanaman dalam kurun waktu yang ditentukan musyawarah adat.
Di Maluku dan Papua, praktik dengan model pengelolaan sama biasa disebut sasi.
Sementara itu, Program Manager WGII Cindy Julianty mengatakan, pihaknya melakukan penyempurnaan pada draf Rancangan Undang-Undang Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE).
Maksud penyempurnaan RUU KSDAHE itu antara lain terkait dengan partisipasi yang bermakna dan pengakuan hak-hak masyarakat dan praktik konservasinya (ICCAs) yang seharusnya lebih mudah dan berbiaya murah.
Kondisi realistis menunjukkan bahwa masyarakat adat dan lokal sudah mempraktikkan konservasi sebelum adanya UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya