JAKARTA, KOMPAS.com - Alarm krisis iklim yang kian nyata, memaksa seluruh komponen dunia untuk lebih perduli terhadap keberlanjutan.
Kelompok-kelompok pecinta lingkungan makin galak menyuarakan penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Alhasil, pelaku bisnis komersial di berbagai sektor pun terus mencari formulasi ideal EBT guna mendukung industri dan bisnisnya.
Terutama di sektor penerbangan, yang akhir-akhir ini disorot tajam karena merupakan salah satu industri yang paling boros bahan bakar berbasis fosil dan tidak ramah lingkungan.
Baca juga: Berapa Konsumsi Bahan Bakar Burung Besi Raksasa Airbus A380?
Sejumlah maskapai penerbangan menghadapi tekanan untuk mengurangi emisi karbon, yang mendorong mereka mencari sumber bahan bakar alternatif.
Salah satu yang tengah dirintis adalah pemanfaatan lemak dari babi, ayam, dan sapi untuk dibuat sebagai bahan baku bahan bakar pesawat jet yang lebih ramah lingkungan.
Lemak hewan dipandang sebagai limbah produk sampingan dari produksi industri daging. Bahan bakar penerbangan yang dibuat dari industri daging ini dianggap memiliki jejak karbon yang lebih rendah.
Namun demikian, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbasis di Brussels, Belgia, Transportation & Environment, membunyikan lonceng peringatan bahwa pendekatan ini dapat menjadi bumerang dan berakhir menjadi lebih buruk bagi Planet ini.
NEW: The burning of animal fat biofuels is set to triple by 2030????????
?But there is not enough to scale it up sustainably.
??The growing use of animal fat to power planes is raising concerns over the availability of ‘waste’ biofuels.
Read the study?? https://t.co/YkEhFMBWyo pic.twitter.com/r33YUbnjko
— Transport & Environment (@transenv) May 31, 2023
Betapa tidak, untuk mendukung perjalanan udara dari Paris ke New York saja, dibutuhkan setidaknya hampir 9.000 ekor babi.
Angka ini akan semakin melambung, ketika permintaan bahan bakar dari sumber lemak hewani ini meroket tajam tiga kali lipat pada tahun 2030.
Masalahnya, lemak hewani ini digunakan di banyak industri lain, seperti makanan hewan, sabun, dan kosmetik.
Baca juga: Menyusul Belanda, Perancis Bakal Larang Penerbangan Jet Pribadi
Namun, seperti yang ditulis oleh Transport & Environment dalam laporan mereka, bahwa ketersediaan lemak hewani terbatas. Membunuh lebih banyak hewan bukanlah suatu pilihan.
Kelompok ini juga menyatakan sudah ada tekanan yang signifikan pada pasokan lemak hewani karena penggunaannya dalam bahan bakar telah meningkat empat puluh kali lipat sejak tahun 2006.
Pakar biofuel Transport & Environment Barbara Smailagic menuturkan, setelah selama bertahun-tahun masyarakat membakar lemak hewani untuk menggerakkan mobil secara diam-diam tanpa sepengetahuan sopir, kini "babi akan terbang" untuk mengisi bahan bakar penerbangan mereka.
“Tapi itu tidak dapat dipertahankan tanpa merampas sektor lain, yang pada gilirannya kemungkinan besar akan beralih ke alternatif yang merusak seperti minyak kelapa sawit," ujar Smailagic.
Laporan tersebut juga menyatakan, industri lain akan beralih ke minyak sawit karena memiliki sifat yang mirip dengan lemak hewani dan merupakan pilihan termurah yang tersedia.
Namun, penggunaannya yang melonjak seiring dengan peningkatan emisi. Hal ini karena hutan tua yang menyimpan karbon dalam jumlah besar, dibuka untuk perkebunan sawit baru.
Baca juga: Indonesia Jajaki Investasi Penyediaan Sapi Perah dengan Belanda
“Penggunaan lemak hewani yang bersaing, menunjukkan tantangan untuk meningkatkan produksi limbah biofuel,” kata Smailagic.
Menurutnya, lemak hewani tidak tumbuh begitu saja di pohon.
"Pemasok makanan hewan, misalnya, kini harus mengurangi keberlanjutan produk mereka dengan menggunakan minyak sawit sebagai gantinya," tuntas dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya