KOMPAS.com – Menurut penelitian terbaru, empat dari lima orang di seluruh dunia merasakan Juli 2023 lebih panas dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Lebih dari 6,5 miliar orang, atau 81 persen populasi dunia, merasa suhu sangat panas menyengat setidaknya selama satu hari pada Juli.
Penelitian tersebut dikeluarkan oleh Climate Central, sebuah organisasi nirlaba sains yang memperkirakan besaran perubahan iklim telah memengaruhi cuaca harian.
Baca juga: Wanita Jadi Kelompok Paling Parah Terdampak Gelombang Panas
Wakil Presiden Climate Central for Science Andrew Pershing mengatakan, perubahan iklim berdampak signifikan pada suhu rata-rata harian di Bumi.
“Kita benar-benar mengalami perubahan iklim di mana-mana,” kata Pershing, sebagaimana dilansir Associated Press, Rabu (2/8/2023).
Para peneliti dalam studi tersebut mengamati 4.711 kota di seluruh dunia dan menemukan adanya pengaruh perubahan iklim di 4.019 kota pada Juli.
Sebelumnya, para ilmuwan di sejumlah organisasi memprediksi bahwa Juli tahun ini adalah bulan terpanas sepanjang sejarah sejak pencatatan suhu dilakukan.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Gelombang Panas Jadi Lebih Ganas
Penelitian dari Climate Central menyebutkan, pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam telah membuatnya suhu udara tiga kali lebih panas setidaknya dalam satu hari di kota-kota tersebut.
Di Amerika Serikat (AS), lebih dari 244 juta orang merasakan panas yang lebih tinggi akibat perubahan iklim selama Juli.
Bagi 2 miliar orang, yang sebagian besar tinggal di wilayah tropis di seluruh dunia, perubahan iklim membuat suhu udara tiga kali lebih panas setiap harinya pada Juli.
Menurut penelitian tersebut, hari yang dirasa paling panas adalah 10 Juli, di mana 3,5 miliar orang mengalami panas ekstrem.
Baca juga: Menakar Suhu Panas Ekstrem Saat Olimpiade Paris 2024 Digelar
Penilitan tersebut belum ditinjau secara peer-review, standar emas untuk penelitian ilmiah, karena bulan Juli baru saja berakhir.
Akan tetapi, dua ilmuwan iklim di luar penelitian tersebut mengatakan kepada Associated Press bahwa penelitian dari Climate Central dinilai kredibel.
Lebih dari setahun yang lalu, Climate Central mengembangkan alat ukur yang disebut Climate Shift Index.
Indeks ini menghitung efek perubahan iklim terhadap suhu di seluruh dunia secara real time, menggunakan prakiraan, pengamatan, dan simulasi komputasi.
Baca juga: Krisis Iklim Makin Kencang, Jutaan Orang di 3 Benua Dicengkeram Panas Ganas
Untuk mengetahui efeknya, para ilmuwan membandingkan suhu yang tercatat dengan simulasi tanpa pemanasan dari perubahan iklim dan sekitar 1,2 derajat celsius lebih dingin untuk mengetahui kemungkinan bahwa panas itu alami.
“Saat ini, kita semua harus terbiasa dengan gelombang panas yang berhubungan dengan pemanasan global,” kata ilmuwan iklim Universitas Princeton, Gabriel Vecchi, yang bukan bagian dari penelitian Climate Central.
“Sayangnya, bulan ini, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian ini, telah memberi sebagian besar orang di planet ini merasakan dampak pemanasan global pada panas yang ekstrem,” papar Vecchi.
Baca juga: Alarm Krisis Iklim, Suhu China Tembus 52 Derajat, AS Dilanda Gelombang Panas Ekstrem
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya