KOMPAS.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyelenggarakan Dialog Nasional: Gender dan Perubahan Iklim.
Gelaran tersebut dibuat untuk menyambut Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim ke-28 atau COP-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada akhir 2023.
Sebagai informasi, COP-28 diikuti oleh 100 peserta yang terdiri dari pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil, donor dan filantropi.
Adapun COP merupakan lanjutan dari pelaksanaan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change atau Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.
Baca juga: Jadi Tuan Rumah Temu Pejabat Lingkungan ASEAN, Indonesia Ajak Atasi Perubahan Iklim
Deputy V Bidang Kesetaraan Gender KPPPA, Leny Rosalin mengatakan bahwa perubahan iklim memberikan dampak yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan karena perbedaan gender.
“Perempuan dan laki-laki berpotensi menjadi korban dari perubahan iklim. Namun, pada saat yang sama, perempuan dan laki-laki berpotensi menjadi champion atau pelopor untuk mengatasi perubahan iklim melalui aksi mitigasi dan adaptasi,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Rabu (2/8/2023).
Ia juga menjelaskan bahwa sebelumnya, pada COP-27 yang digelar pada November 2022, pihaknya sudah menyampaikan komitmen untuk meningkatkan peran perempuan dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal lain yang dikemukakan adalah komitmen melaksanakaan mandat dari Lima Work Programme on Gender (LWPG) di Indonesia dengan sejumlah langkah.
Pertama, memulai penyusunan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim dengan pendekatan partisipatori.
Baca juga: Laporan SDGs 2022: Kesetaraan Gender Jauh Panggang dari Api
Kedua, membentuk Sekretariat Nasional (Seknas) Gender dan Perubahan Iklim untuk mendukung penyusunan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim, serta pelaksanaannya dengan melibatkan seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) terkait pengendalian perubahan iklim,
Ketiga, membentuk Kelompok Kerja Multistakeholder dalam Seknas yang terdiri dari K/L dan unsur lain, seperti dunia usaha, lembaga masyarakat, organisasi nirlaba nonpemerintah (NGO), dan filantropi.
Di sisi lain, ia juga menjelaskan LWPG meliputi lima prioritas, yaitu Prioritas A yang menekankan pada pembangunan kapasitas, manajemen pengetahuan, dan komunikasi.
Lalu, Prioritas B yang mengedepankan keseimbangan gender, partisipasi, dan kepemimpinan perempuan.
Kemudian, Prioritas C yang fokus pada koherensi, koordinasi, dan penguatan kelembagaan.
Ada lagi, Prioritas D yang fokus pada implementasi dan sarana implementasi yang tanggap gender. Terakhir, Prioritas E, yakni pemantauan dan pelaporan.
“Dialog nasional diselenggarakan untuk menyepakati berbagai isu penting perubahan iklim yang dihadapi oleh perempuan, seperti ketidakamanan pangan, kesehatan, air bersih, sanitasi, migrasi dan kebencanaan,” paparnya.
Ia juga menegaskan beberapa isu yang tak kalah penting lainnya untuk diangkat, yakni meningkatnya gender based violence, meningkatnya kemiskinan dan rendahnya akses perempuan terhadap ekonomi dan sumber daya alam seiring dengan terjadinya bencana akibat perubahan iklim.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya