Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Sengkarut Pengelolaan Hutan Indonesia

Kompas.com - 12/08/2023, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEKAYAAN sumber daya alam (natural resources) terbesar yang dimiliki Indonesia saat ini adalah hutan alam tropis (tropical rain forest) seluas 120,3 juta hektare, terbentang dari ujung barat Sabang di Pulau Sumatera sampai ujung timur Marauke di Papua.

Dalam peta dunia, luas hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil di benua Amerika dan Republik Demokratik Kongo di benua Afrika.

Dalam buku “The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020” yang terbit Desember 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) 120,3 juta hektare.

Luas ini terdiri dari hutan konservasi 21,9 juta hektare, hutan lindung 29,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 26,8 juta hektare, hutan produksi biasa 29,2 juta hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 12,8 juta hektare.

Sayangnya hutan seluas itu secara eksisting (de facto) yang mempunyai tutupan tinggal 84,9 juta hektare, terdiri dari hutan primer 43,3 juta hektare, hutan sekunder 37,3 juta hektare dan hutan tanaman 4,3 juta hektare. Sisanya kawasan hutan nontutupan hutan seluas 33,4 juta hektare.

Dari awal negara ini dibentuk 1945, pengelolaan hutan alam bertumpu pada regulasi undang-undang (UU) No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan.

Dalam UU tersebut yang dimaksud dengan pengelolaan hutan diartikan sebagai pengurusan hutan dalam arti yang luas, untuk mencapai manfaat hutan sebaik serta sebesar mungkin secara serbaguna dan terus-menerus, baik langsung maupun tidak langsung.

Kegiatan pengurusan hutan termasuk di dalamnya antara lain pengusahaan hutan. Pengusahaan hutan bertujuan memperoleh dan meningggikan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.

Dalam pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan azas kelestarian hutan (forest sustainability).

Disusul dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH).

Sejak saat itu, mulailah hutan alam dieksplotasi untuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.

Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan sebagai penggerak roda pembangunan dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.

Akibatnya hutan alam diekploitasi habis-habisan untuk diekspor kayunya dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan). Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan) baik asing maupun domestik terus bertambah.

Pada 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare.

Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional.

Ekses yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali antara lain tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH.

Sistem silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak dipatuhi di lapangan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah. Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik.

Salah urus

Ternyata kelestarian yang dijanjikan dalam regulasi sekelas UU belum terbukti. Jargon tentang timber estate sustainability management hanya terbatas pada diskursus atau wacana saja.

Faktanya, setelah bergantinya rezim dari orde baru ke rezim reformasi, seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, muncul masalah baru yang sebenarnya sudah diperhitungkan sebelumnya, yaitu bencana ekologis akibat eksploitasi SDA hutan.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) khususnya dari bekas hutan gambut yang menghasilkan bencana asap, selalu muncul setiap tahunnya memasuki musim kemarau seperti sekarang.

Pemerintah pusat maupun daerah dibuat kalang kabut untuk mengatasi karhutla ini. Konflik tenurial antarwarga dengan korporasi maupun dengan pemerintah terus terjadi dan tak ada habisnya.

Hutan open akses terlantar akibat ditinggalkan oleh HPH bermasalah atau habis masa kontraknya terus bertambah jumlah dan luasnya. Luas lahan kritis dalam kawasan hutan terus bertambah.

Sementara, program membangun hutan oleh pemerintah dan korporasi yang telah dilakukan puluhan tahun belum nampak hasilnya secara signifikan.

Pemerintahan era reformasi yang sudah berjalan hampir 25 tahun, mencoba memperbaiki sengkarut pengelolaan hutan di Indonesia melalui regulasi dengan menerbitkan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang merupakan revisi dari UU No. 5/1967.

Meski HPH dan HPHH dalam UU 41/1999 berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) dan izin usaha pemungutan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHH-HA), dan sistem penebangan diperbaharui dengan metoda RIL (Reducing Impact Logging) dan sistem silvikulturnya ditambah dan disempurnakan dengan silin (silvikultur intensif), namun dalam praktik di lapangan kedua sistem tersebut tidak jauh beda.

Pengawasan kehutanan yang diharapkan mampu untuk meredam dan mengurangi penyimpangan pengelolaan hutan di lapangan kurang berjalan baik dan lemah.

Faktanya, pengawasan kehutanan bermasalah karena banyak sebab. Tiga di antaranya adalah urusan pengawasan hutan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah pusat dan kewenangannya tidak dilimpahkan provinsi, apalagi kabupaten.

Jumlah jagawana (polisi kehutanan) di seluruh Indonesia sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 125,2 juta hektare.

Artinya, 1 jagawana menjaga 18.000 hektare kawasan hutan. Idealnya 1 jagawana hanya menjaga 500-1000 hektare.

Sehingga jumlah ideal polisi hutan seharusnya 125.000 ; dan pemerintah pusat terlalu jauh kewenangannya mengawasi hutan yang ada di tingkat tapak.

Dalam ilmu manajemen modern, untuk memperoleh pengawasan yang efektif apabila rentang kendali ada pada dua tingkat di bawahnya.

Kebijakaan parsial dan anomali

Meskipun jargonnya pengelolaan hutan sering diganti-ganti dari timber estate sustainability management menjadi community based forest management dan terakhir sustainable landscape management, namun kebijakan pengelolaan hutan banyak yang bersifat lepas, parsial dan kadang menimbulkan anomali yang sering menimbulkan sengkarut dalam pelaksanaan di tingkat tapak. Kebijakan tersebut di antaranya adalah:

Pertama, kebijakan moratorium pembukaan hutan alam dan gambut. Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2011, telah diterbitkan Inpres tentang moratorium sementara pembukaan hutan alam dan gambut.

Moratorium ini diperpanjang selama empat kali sejak 2011, yang dipicu perjanjian kerja sama menekan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan dengan pemerintah Norwegia.

Dari perpanjangan itu, peta indikatif hutan alam dan gambut yang tak boleh dibuka seluas 66.139.183 hektare, berkurang 42.911 hektare dibanding peta pada awal tahun ini.

Pada revisi ke-16, luas areal moratorium seluas 66,3 juta hektare, dengan rincian 51,5 juta hektare kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, 5,3 juta hektare lahan gambut yang tak masuk areal konsesi perusahaan hutan produksi atau Areal Penggunaan Lain (APL), serta 9,5 juta hektare hutan alam primer yang belum menjadi konsesi di hutan produksi atau APL.

Belakangan pemerintah menghentikan secara permanen pembukaan lahan gambut.
Masalahnya, mengapa hutan konservasi yang tak boleh dibebani izin masih dimasukkan dalam moratorium ini?

Seharusnya yang perlu dihitung dan dicermati adalah pemanfaatan hutan produksi yang acap tumpang tindih dan hutan lindung yang merupakan hutan dengan wilayah abu-abu: boleh atau tak boleh dimanfaatkan.

Pada revisi ke-14 peta moratorium, luas hutan konservasi 27,3 juta hektare. Agaknya luas ini masuk seluruhnya dalam peta moratorium, sementara sisanya seluas 24,2 juta hektare sebagian besar berupa kawasan hutan lindung dari luas total 29,5 juta hektare.

Tampaknya sudah tidak ada lagi hutan alam primer dan gambut yang masih utuh di hutan produksi jika kita hitung luas konsesi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang telah terbit selama ini. Kalaupun masih ada luasnya tak lebih dari 1 juta hektare.

Yang menarik adalah APL yang masih memiliki tutupan hutan dimasukkan dalam peta moratorium. Padahal, menurut pemerintah sendiri, APL merupakan lahan di luar kawasan hutan yang luasnya mencapai 67,4 juta hektare.

Meski bukan kawasan hutan, 12 persen APL atau 7,9 juta hektare diperkirakan masih memiliki tutupan pohon.

Jadi jika dilihat lebih saksama, luas kawasan hutan alam primer dan gambut yang masuk dalam peta moratorium adalah hutan lindung seluas 24,2 juta hektare, hutan produksi sekitar 1 juta hektare, dan APL seluas 7,9 juta hektare.

Artinya hutan alam primer Indonesia dan gambut yang tak boleh dibuka untuk alasan apa pun hanya 33,1 juta hektare saja.

Kedua, meski kawasan hutan alam primer telah dilakukan moratorium secara permanen, faktanya pemerintah masih membuka peluang melalui UU No. 11/2021 Cipta Kerja dan PP No. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan untuk pemanfaatan hutan produksi dengan skema perizinan usaha kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu yang tumbuh alami/hutan alam.

Dengan kata lain, masih dibuka peluang IUPHHK-HA dalam kawasan hutan produksi pada hutan alam primer.

PP ini sama saja dengan menegasi dan anomali adanya moratorium hutan alam dan gambut.

Dalam buku “The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020, dalam kawasan hutan produksi, hutan primer yang tersisa tinggal seluas 17,0 juta hektare, yang terdiri dari hutan produksi terbatas (HPT) 9,8 juta hektare, hutan produksi biasa (HP) 4,7 juta hektare dan hutan produksi konversi (HPK) 2,5 juta hektare.

Bila dihitung jumlah total kawasan hutan alam primer, termasuk hutan konservasi (HK) 12,5 juta hektare dan hutan lindung (HL) 15,9 juta hektare, maka luasnya baru mencapai 45,4 juta hektare.

Ketiga, penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang mencapai 3,1 – 3,4 juta hektare. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini terdapat 3,1 - 3,2 juta hektare sawit di kawasan hutan.

Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021, menyebut 3,4 juta hektare. Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal.

Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.

Pemerintah berencana memutihkan atau melegalkan 3,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan (Kompas, 24/06/2023).

Pemutihan tersebut merupakan langkah penyelesaian permasalahan kebun sawit yang sesuai dengan mekanisme Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja.

Menurut Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi selaku Ketua Tim Pengarah Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, saat ini terdapat 16,8 juta hektare luas lahan sawit di Indonesia.

Dari jumlah itu, seluas 10,4 juta hektare digunakan oleh korporasi atau perusahaan baik BUMN maupun swasta. Sisanya, seluas 6,4 juta hektare adalah perkebunan rakyat.

Update data terakhir dari Satgas di atas, luas sebesar 3,3 juta hektare dari total lahan sawit Indonesia berada di kawasan hutan.

Pemutihan lahan sawit dalam kawasan hutan dengan cara melegalkan oleh pemerintah ini, bukan lantas masalahnya menjadi selesai. Persoalan baru telah menghadang, terhadap produk-produk komoditas pertanian yang berasal dari kawasan hutan termasuk produk sawit dan turunannya.

Di tengah ekspektasi penerimaan negara bukan pajak (PNPB) yang begitu besar dari denda sawit dalam kawasan hutan tersebut, terdapat hambatan dan pesimistis yang menghadang di depan ketidak mulusnya penerapan denda sawit dengan terbit UU anti deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang berlaku mulai 16 Mei 2023.

Dengan pemberlakuan ini, seluruh komoditas andalan Indonesia ke Uni Eropa dilarang masuk ke 27 negara anggota organisasi itu jika tidak lolos uji tuntas deforestasi.

Sudah barang tentu produk sawit dan turunannya masuk dalam sasaran EUDR yang dilarang dijual di Uni Eropa. Padahal negara Uni Eropa merupakan konsumen terbesar kedua setelah negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Jadi bagi subyek hukum pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah yang akan dikenai denda PNBP tersebut, suka atau tidak suka akan mengalami gangguan neraca keuangan akibat penjualan produk sawitnya yang tidak lagi semulus sebelumnya.

Dampaknya kemampuan membayar denda PNBP subyek hukum yang disebut di atas akan melemah atau menurun.

Proses pemutihan kebun sawit seluas 3,3 juta hektare, dengan mekanisme pelepasan kawasan hutan, jelas akan menjadi ganjalan bagi minyak mentah sawit (CPO) Indonesia yang akan dijual kepasaran Uni Eropa, karena masuk dalam golongan dan kriteria deforestasi yang diharamkan bagi UU EUDR.

Pemerintah Indonesia sebaiknya menata ulang kebijakan pengelolaan hutan agar sengkarut ini tidak terlanjur terperosok kedalam lubang yang dalam di tengah upaya dunia sedang menahan laju peningkatan emisi karbon yang mengancam jiwa dan keselamatan warga dunia.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau