Oleh: Pupung Arifin*
DISKURSUS buruknya kualitas udara kota-kota besar di Indonesia semakin riuh rendah dalam beberapa pekan terakhir.
Pemberitaan media massa banyak menyorot Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang sempat beberapa kali berada pada peringkat pertama sebagai kota dengan udara terkotor di dunia versi Lembaga Air Quality Index (AQI).
Berdasarkan data dari Lembaga Centre for Research on Energy and Clean Air CREA), DKI Jakarta memiliki tingkat PM 2.5 rata-rata yang selalu naik dari tahun ke tahun.
Sebagai contoh, pada 2020, rata-rata nilai PM 2.5 harian di Jakarta berada pada angka 42 mikrogram per meter kubik. Nilai tersebut sangat jauh dari ambang batas rekomendasi badan kesehatan dunia, WHO dengan nilai 10.
Data terbaru dari IQAir pada Minggu (13/8/2023), bahkan menunjukkan nilai PM 2.5 Jakarta yang senilai 96,8. Angka tersebut berarti 19,4 kali lipat dari rekomendasi batas normal dari WHO.
Bagi yang belum familiar, PM 2.5 adalah partikel polusi udara yang sangat kecil, yaitu sebesar 2.5 mikrometer (Fajri, 2021).
Karena ukurannya yang sangat kecil tersebut, maka PM 2.5 tidak bisa terlihat dengan kasat mata, dan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Berbagai pihak sepakat bahwa ada banyak faktor yang menjadi andil, antara lain iklim, emisi kendaraan bermotor, asap industri, pembangkit listrik tenaga batubara dan pembakaran sampah.
Solusi atas permasalahan ini juga menjadi tidak mudah karena kombinasi berbagai kebijakan pemerintah, kebiasaan masyarakat, skala prioritas dan pengabaian berpuluh tahun ke belakang.
Potret buruknya kualitas udara di Jakarta seakan menjadi sinyal atas potensi bahaya serupa pada kota-kota lain di Indonesia.
Bagi kota yang saat ini belum berada pada ambang “bahaya”, bukan berarti akan seterusnya aman pada tahun/dekade mendatang. Tanpa ada gebrakan bersama yang serentak, maka bahaya buruknya kualitas udara di Indonesia akan semakin meningkat.
Menarik jika membandingkan respons masyarakat akan bahaya polusi udara ini dengan ancaman pandemi covid-19 yang sudah dihadapi sejak tahun 2020 yang lalu.
Sirkulasi perbincangan dan perdebatan buruknya kualitas udara di Indonesia tidak sebesar pandemi covid-19.
Hal tersebut disinyalir karena ancaman kematian yang lebih menakutkan dan “nyata” pada pandemi covid-19, dibandingkan isu kualitas udara saat ini.
Kasus kematian yang diakibatkan pandemi covid-19 setiap hari terus diperbaharui di berbagai media massa, sedangkan kematian yang diakibatkan oleh polusi udara cenderung laten.
Selain infeksi pernapasan akut (ISPA), polusi udara juga akan memacu berbagai penyakit lainnya seperti jantung koroner, kanker, gangguan reproduksi, gangguan pertumbuhan anak, dan hipertensi.
Karena dampak yang tidak langsung tersebut, maka dampak dari buruknya kualitas udara tidak mendapatkan porsi perhatian yang besar dibandingkan dengan dampak kesehatan dari pandemi covid-19.
Berbagai upaya dan solusi sudah dilakukan oleh pemerintah, lembaga non-profit, komunitas, masyarakat umum, dan perusahaan swasta untuk merespons permasalahan buruknya kualitas udara di Indonesia, khususnya DKI Jakarta dan sekitarnya.
Pada beberapa pemberitaan, terlihat bahwa pemerintah mengampanyekan penggunaan kendaraan listrik untuk menjadi penurunan tingkat polusi udara.
Termasuk pemindahan Ibu Kota ke IKN salah satunya karena dipicu permasalahan polusi udara akut di Jakarta.
Beberapa tindakan lainnya, misalnya, program penanaman pohon, pemilahan sampah, pengetatan uji emisi kendaraan dan lain sebagainya.
Muncul pertanyaan lanjutan dari itu semua. Sudah efektifkah semua upaya tersebut untuk mengurangi tingkat polusi udara di Jakarta?
Sudahkan risiko atas polusi udara tersebut disadari oleh semua warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, dan mulai melakukan upaya pencegahan?
Kompleksitas permasalahan polusi udara ini, salah satunya dapat dilihat menggunakan kacamata Komunikasi Risiko.
Palenchar (2013) menyampaikan bahwa komunikasi risiko adalah aktivitas membangun relasi dan pemahaman bersama dalam rangka terbentuknya kesadaran bersama akan risiko yang akan dihadapi.
Kesadaran bersama tersebut kemudian akan diikuti dengan berbagai bentuk strategi komunikasi untuk dapat memunculkan solusi atau rekomendasi dalam upaya mengurangi risiko yang akan muncul.
Kajian komunikasi risiko sudah dilakukan para akademisi sejak puluhan tahun lalu, namun mendapatkan momentumnya kembali ketika pandemi covid-19 menerjang dunia pada awal 2020 (Abrams & Greenhawt, 2020; Malecki, Keating, & Safdar, 2021; Pascual-Ferrá, Alperstein, & Barnett, 2022).
Aktivitas komunikasi risiko perlu disesuaikan dengan bentuk bencana atau krisis yang dihadapi. Publik memiliki persepsi yang beragam untuk merespons suatu ancaman risiko.
Penelitan yang dilakukan oleh Bijaksana, Irfan dan Essa (2021) menunjukkan bahwa tingginya polusi udara di Kota Bandung tidak berbanding lurus dengan rendahnya persepsi publik terhadap kualitas udara di kotanya.
Berbagai hal perlu diperhatikan oleh pemerintah, peneliti, lembaga non-pemerintah, pemengaruh dan semua pihak yang akan menjalankan kampanye komunikasi risiko terkait isu buruknya kualitas udara ini.
Seperti dikatakan Rowe, dkk (2004) bahwa saat ini publik bukan lagi dilihat sebagai pihak yang perlu ditatar untuk mengubah pandangannya tentang bahaya semua bencana/krisis.
Pada kampanye komunikasi risiko, terkadang masih ada gap yang lebar antara ilmu pengetahuan yang dibawa oleh peneliti, pemerintah dan industrialis dengan dunia sosial di masyarakat (Hilgartner, 1990).
Frewer (2004) menegaskan bahwa publik harus dapat dilibatkan dalam aktivitas komunikasi risiko. Hal tersebut akan mengurangi distrust publik terhadap lembaga pemerintah dan praktisi komunikasi risiko.
Sebelum lebih jauh menyusun program kampanye komunikasi risiko, perlu dipastikan dahulu bahwa pemerintah dan praktisi perlu meningkatkan transparansi terkait proses analisis atas semua rencana yang akan dijalankan.
Keterbukaan ini akan membangun kepercayaan publik, yang pada akhirnya diharapkan ada keterlibatan lebih dari masyarakat.
Harus ada perubahan kebiasaan dari pratik komunikasi satu arah yang cenderung top-down, bergeser menjadi lebih konsultatif, transparan, dan melalui proses pengambilan keputusan yang inklusif.
Pola aktivitas demikian menjadi penting karena masih banyak publik yang menganggap bahwa buruknya kualitas udara di Jakarta tidak perlu direspons terlalu berlebihan oleh masyarakat karena permasalahan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/daerah.
Memang betul bahwa ada porsi di mana permasalahan ini membutuhkan intervensi kebijakan di level pemerintah. Misalnya, terkait kebijakan sistem pasar listrik energi terbarukan di Indonesia.
Skema investasi energi terbarukan yang akan masuk jaringan listrik existing belum sepenuhnya menarik bagi investor.
Contoh lain, misalnya, terkait kebijakan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang bertujuan mendapatkan suntikan dana dari negara maju sebagai modal proyek penghentian operasi PLTU tenaga batu bara yang disertai dengan pendirian pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan.
Transisi ini penting karena operasi beberapa PLTU tenaga batubara di sekitar Jakarta disinyalir sebagai penyumbang terbesar buruknya kualitas udara di kota tersebut.
Dua kebijakan strategis ini tampaknya belum ditangkap dengan baik oleh masyarakat, sehingga tudingan kealpaan pemerintah atas permasalahan kualitas udara yang buruk masih kerap terdengar.
Maka kajian komunikasi risiko yang baik bisa menjadi solusi atas diseminasi informasi kepada publik terkait capaian/upaya pemerintah di sektor energi bersih.
Gutteling dan Wiegman (1996) menegaskan bahwa Komunikasi Risiko adalah perencanaan sistematis pada kegiatan transfer informasi yang berdasarkan riset ilmiah, untuk mencegah, menyelesaikan atau respons mitigasi permasalahan dengan penyusunan pesan-pesan risiko sedemikian rupa yang ditujukan kepada sekelompok target sasaran yang spesifik.
Berdasarkan definisi tersebut, maka harus diingat pula bahwa suatu pesan komunikasi risiko harus disusun berdasarkan identifikasi target sasarannya.
Dampak dari buruknya kualitas udara di Jakarta yang tidak secara direct pada tingkat mortalitas, membuat publik akan cenderung abai.
Khususnya kelompok-kelompok masyarakat rentan yang sehari-harinya tidak menyimak sirkulasi informasi di media arus utama maupun media sosial.
Kerjasama semua stakeholder perlu disegerakan agar hak warga negara atas udara bersih dapat terpenuhi dengan baik.
*Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya