KOMPAS.com – DKI Jakarta kembali menjadi sorotan atas tingginya polusi udara selama beberapa waktu terakhir.
Berdasarkan sumber pencemarannya, sektor transportasi menjadi salah satu kambing hitam dari tingginya polusi udara di DKI Jakarta.
Menurut Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sigit Reliantoro dalam media briefing di Jakarta, Minggu (13/08/2023), sektor transportasi menjadi kontributor terbesarnya.
Baca juga: Kualitas Udara Buruk, Walkot Tangerang Instruksikan Pegawainya Naik Transportasi Umum
Sigit menjelaskan, sektor transportasi menyumbang sebesar 44 persen pencemaran udara di DKI Jakarta.
Kontributor berikutnya adalah sektor industri 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.
Menurut Sigit, beberapa solusi untuk menekan polusi dari transportasi adalah menggalakkan uji emisi kendaraan dan mendorong kendaraan listrik.
“Kebijakan yang paling direkomendasikan adalah utamanya di bidang transportasi, disusul kemudian mengawasi industri dengan memasang alat kontrol emisi yang lebih baik, dan juga mendorong efisiensi energi,” papar Sigit dikutip dari situs web Kementerian LHK.
Baca juga: Sektor Transportasi Sumbang Polusi Udara Terbesar di Jakarta, Pengamat: Paling Banyak Sepeda Motor
Di satu sisi, sektor transportasi rupanya menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan asli daerah (PAD) Jakarta dari sektor pajak.
Badan Pendapatan Daerah DKI Jakarta melaporkan, realisasi penerimaan pajak dari Januari hingga akhir Juni sebesar Rp 22,35 triliun atau tercapai 42,79 persen dari target.
Dari jumlah tersebut, pajak kendaran bermotor menyumbang Rp 4,379 triliun dari total penerimaan pajak semester pertama 2023. Targetnya, pajak kendaran bermotor pada akhir 2023 sebesar 9,6 triliun.
Pendapatan pajak kendaran bermotor tersebut hanya lebih rendah dari pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang mencapai Rp 5,167 triliun. Target pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan pada 2023 adalah Rp 9,7 triliun.
Baca juga: Pengamat Sebut Sektor Transportasi dan Industri Sumbang Polusi Terbesar di Jakarta
Selain itu, bea balik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor juga cukup tinggi kontribusinya pada semester pertama 2023, masing-masing Rp 3,102 triliun dan Rp 827 miliar.
Bila digabungkan, sektor transportasi saja berkontribusi sebesar Rp 8,308 triliun dari realisasi penerimaan pajak semester pertama 2023 DKI Jakarta, atau sekitar 37 persen.
Dari tahun ke tahun, DKI Jakarta menikmati manisnya pajak kendaraan bermotor terhadap PAD, dan bahkan selalu naik dari tahun ke tahun.
Baca juga: Penggunaan Transportasi Publik Dinilai Jadi Solusi Jangka Pendek Atasi Polusi Udara di Jakarta
Contohnya, serapan pajak kendaran bermotor pada 2020 sebesar Rp 7,879 triliun, pada 2021 sebanyak Rp 8,532 triliun, dan pada 2022 sebesar Rp 9,404 triliun.
Naiknya pajak kendaran bermotor berbanding lurus dengan jumlah kendaraan bermotor yang mengaspal di jalan raya.
Menurut data dari Bada Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, jumlah kendaraan bermotor di jalanan selalu meningkat setiap tahunnya.
Pada 2020 ada 24,266 juta unit, 2021 terdapat 25,265 juta unit, dan 2022 tercatat 26,370 juta unit.
Baca juga: Polusi Udara di Jakarta, Menparekraf Anjurkan Naik Transportasi Umum
Di sisi lain, tingginya kehadiran kendaraan bemotor di DKI Jakarta justru akan memicu titik jenuh pembelian otomotif karena jalanan semakin macet dan tingginya tingkat polusi udara.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengucapkan, lama-lama masyarakat berpikir bahwa punya mobil dan motor justru merepotkan.
“Waktu terbuang karena macet saat menuju kantor, kemudian secara moral diminta tanggung jawab karena mencemari udara,” kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/8/2023).
Bhima mengutarakan, selain tingginya perputaran uang dari bisnis kendaraan bermotor, eksternalitas negatif yang menumpuk juga perlu dihitung.
Baca juga: Kerap Tuding Sektor Transportasi, Pemerintah Abaikan Dampak Industri terhadap Polusi Udara Jakarta
“Semakin banyak kendaraan bermotor artinya Pemda (Pemerintah Daerah) DKI (Jakarta) harus terus memperlebar jalan. Kan hampir sulit jalan di DKI, ditambah untuk penuhi kebutuhan volume kendaraan baru,” tutur Bhima.
“Belum lagi biaya kesehatan dari polusi udara bisa membebankan BPJS (dalam) jangka panjang,” sambungnya.
Selain itu, tingginya impor bahan bakar minyak (BBM) juga bisa melemahkan devisa dan mata uang rupiah.
“Subsidi untuk BBM juga membuat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) megap-megap,” papar Bhima.
Baca juga: Jakarta Kota Paling Berpolusi di Dunia, Pakar: Sektor Transportasi Harus Dibenahi Total
Menurutnya, menggenjot transportasi publik merupakan salah satu solusi yang wajib diterapkan di Jakarta.
Menggalakkan uji emisi terhadap kendaraan pribadi menurut Bhima juga bukan merupakan solusi efektif untuk menekan tingkat polusi.
“Tidak efektif. Masyarakat memahami bahwa uji emisi kurang efektif bahkan memicu praktik penyimpangan karena lemahnya pengawasan,” kata Bhima.
Baca juga: PPIT: Banyak Investor Asing yang Minat Investasi untuk Membangun Transportasi di RI
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya