INDONESIA beruntung mempunyai etalase formasi hutan yang lengkap, mulai dari pantai sampai hutan hujan dataran tinggi.
Tipe ekosistem hutan dari bawah adalah hutan pantai dan mangrove, hutan gambut, hutan tropika basah dataran rendah dan hutan tropika basah dataran tinggi.
Terdapat dua ekosistem hutan unik yang selalu digenangi air, walaupun karakteristiknya berbeda, yaitu hutan mangrove dan gambut.
Keduanya diklaim sebagai ekosistem yang mampu menyerap emisi karbon terbesar dibanding dengan hutan tropis lainnya.
Hutan sekunder mampu menyimpan karbon 54,1 ton – 182,5 ton karbon setiap hektare. Mangrove diklaim dapat menyimpan karbon 3-5 kali lebih tinggi dari hutan tropis.
Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, di antaranya terdapat sedimentasi (tanahnya berlumpur), tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama.
Selain itu, tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar garam (bersalinitas) payau hingga asin.
Data terakhir 2019, luas tutupan mangrove Indonesia 3,56 juta hektare, yang terdiri dari 2,37 juta hektare dalam kondisi baik dan 1,19 juta hektare yang rusak.
Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dIkutip harian Kompas (4/08/2022), menyebut bahwa total luas habitat ekosistem mangrove 4.120263 hektare yang terdiri dari habitat ekosistem mangrove yang masih ada (existing) 3.364.080 hektare dan potensi habitat mangrove seluas 756.183 hektare.
Mangrove exsisting terdiri dari ekosistem mangrove yang lebat (3.121.240 hektare), sedang (188.366 hektare) dan jarang (54.474 hektare).
Sementara itu, potensi habitat mangrove terdiri dari areal terabrasi, lahan terbuka, mangrove terabrasi, tambak dan tanah timbul (akresi).
Mangrove yang secara legal masuk dalam kawasan hutan seluas 2.936.813 hektare dan di luar kawasan hutan (areal penggunaan lain/APL) 1.183.449 hektare.
Uniknya lagi, dalam kawasan hutan juga dibagi lagi sesuai kawasan fungsinya sebagaimana ekosistem hutan yang berada di daratan, yakni hutan konservasi (HK) 797.109 hektare, hutan lindung (HL) 991.456 hektare dan hutan produksi (HP) 1.148.248 hektare.
Habitat mangrove yang telah rusak dan perlu direhabilitasi kembali seluas 756.182 hektare, terdiri terdiri dari mangrove rusak dalam kawasan hutan 756.182 hektare (HK 48.838 hektare, HL 83.732 hektare, HP 132.570 hektare) dan mangrove rusak di areal APL 480.651 hektare.
Melihat peran strategis habitat ekosistem mangrove yang dimiliki Indonesia sekarang dalam mengendalikan emisi karbon dan menghadapi krisis iklim, muncul pertanyaan sekaligus persolan, kenapa kawasan hutan mangrove kita masih ada pembagian kawasan fungsi hutan produksi dan mengapa APL mangrove yang masih existing seluas 702.792 hektare ditarik dan dikembalikan lagi menjadi kawasan hutan agar tidak dialih fungsikan untuk kepentingan lain.
Berpijak dari terbentuknya ekosistem mangrove yang khas/unik, yakni ekosistem mangrove hidup di pantai, tetapi tidak semua pantai dapat ditanami mangrove, maka penetapan kawasan fungsi ekosistem/hutan mangrove menurut undang-undang (UU) tata ruang maupun UU kehutanan dan regulasi turunannya, harusnya menjadi pembeda dibandingkan dengan fungsi kawasan hutan gambut maupun hutan tropika daratan lainnya.
Kenapa demikian? Pertama, dalam undang-undang 26 tahun 2007, tentang penataan ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Dari lima kriteria kawasan lindung dalam UU tata ruang ini, hutan konservasi, hutan lindung dan kawasan pantai berhutan bakau masuk dalam kriteria kawasan lindung.
Kedua, pembagian fungsi kawasan hutan (HK, HL dan HP) dalam kawasan hutan mangrove sudah tidak realistis dan tidak ada dasar hukumnya.
Menurut peraturan pemerintah (PP) no. 44/2004 tentang perencanaan hutan dan diubah/disempurnakan dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, pembagian fungsi kawasan hutan (khususnya HL dan HP) hanya berlaku dalam kawasan hutan daratan yang didasarkan pada faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan.
Sementara dalam kawasan hutan mangrove faktor keles lereng, jenis tanah dan intensitas hujan relatif sama antara habitat mangrove yang satu dengan yang lain.
Jadi dasar hukum apa yang digunakan untuk membedakan HL dan HP dalam kawasan hutan mangrove?
Ketiga, akibat kesalahan masa lalu karena ketidak cermatan dalam meng-overlay-kan antara peta tata ruang dengan peta tata guna hutan kesepakatan (TGHK), maka terdapat kawasan hutan mangrove yang masuk dalam kawasan APL.
Padahal APL hanya berlaku pada hutan produksi di kawasan daratan yang masuk dalam irisan kawasan budidaya dalam peta tata ruang.
Sementara itu, kawasan hutan pantai berhutan bakau telah dipertegas masuk dalam kawasan lindung (bukan kawasan budidaya yang secara otomatis bukan masuk dalam APL).
Dengan demikian, kawasan mangrove existing sekarang seharusnya mutlak ditetapkan sebagai kawasan lindung (HK atau HL yang masuk dalam kawasan hutan).
Fungsi kawasan HP bagi hutan mangrove agar segera dapat diubah kedalam HK/HP melalui mekanisme perubahan fungsi kawasan hutan yang dijamin oleh regulasi PP no. no. 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang mempermudah perubahan fungsi kawasan didalam fungsi kawasan (HPK, HPT dan HPB) atau antar fungsi kawasan (konservasi, lindung dan produksi). Yang diubah dalam PP no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.
Meskipun demikian, untuk kepentingan kegiatan pembangunan non kehutanan yang mendesak dan urgen membutuhkan lahan mangrove, kita tidak menutup mata untuk dialih fungsikan, sepanjang luasnya terbatas dan selektif melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang sengaja dibentuk pemerintah pada akhir Desember 2020, untuk menangani mangrove yang rusak dan juga kementerian dan lembaga lainnya, pemerintah sedang berupaya keras merehabilitasi mangrove yang rusak seluas hampir 600.000 hektare.
Menyadari pentingnya peran strategis ekosistem hutan mangrove dalam mengendalikan krisis iklim, karena terbatasnya pendanaan APBN, pemerintah sampai harus mencari pinjaman dana sebesar 400 juta dollar AS atau hampir Rp 6 triliun (kurs Rp 14.996/dollar AS) untuk merehabilitasi mangrove dari World Bank (Bank Dunia).
Kredibilitas pemerintah sangat dipertaruhkan dalam merehabililitasi ekosistem mangrove yang telah rusak.
Merehabilitasi mangrove dalam bentuk penanaman kembali tanaman mangrove (revegetasi) dalam skala luas dan masif (600.000 ha), bukanlah pekerjaan mudah dan mempunyai tingkat kesulitan sangat tinggi.
Salah dalam pemilihan lokasi dan pemilihan jenis yang ditanam akan berakibat fatal dan peluang untuk hidup dan berhasil makin kecil.
Secara teknis penanaman, rehabilitasi mangrove sangat berbeda jauh dengan rehabilitasi hutan di daratan.
Oleh karena itu, kualitas bibit atau anakan mangrove yang tinggi menjadi salah satu kunci keberhasilan penanaman mangrove, di samping pemilihan lokasi dan pemilihan jenis tanaman yang tepat.
Sebelum adanya BRGM yang fokus menangani mangrove, sebenarnya Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) telah lama dan bertahun-tahun melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove melalui unit pelaksana teknis (UPT) di daerah, yakni Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL yang ada di setiap provinsi) meskipun cakupan luas dan seberannya tidak semasif sekarang setelah adanya institusi BRGM.
Bahkan dahulu dibentuk adanya Balai Rehabilitasi Mangrove di Medan (Sumut) dan Denpasar (Bali) yang khusus ditugaskan untuk menangani kegiatan mangrove.
Namun sayang sistem MRV (monitoring, reporting dan verifikasi) yang dibangun oleh KLHK sangat lemah dan sulit diimplementasikan secara transparan.
Publik tidak mendapatkan gambaran utuh berapa sebenarnya luas mangrove (hektare) yang telah ditanam setelah dalam jangka waktu tertentu (5/10/15 tahun) berhasil tumbuh dengan baik dari luas (hektare) tanaman mangrove pada awal ditanam.
Selama ini, KLHK hanya merilis luas mangrove yang ditanam berikut dana/anggaran yang digelontorkan setiap tahunnya saja.
Sebagai contoh, KLHK melalui Ditjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (sekarang Ditjen Pengendalian DAS dan Rehabilitasi Hutan/PDASRH), tahun 2020 melakukan penanaman mangrove seluas 15.000 hektare dengan nilai Rp 406,1 miliar di 34 provinsi di Indonesia.
Bukti empiris, saya mendalami tanaman mangrove lebih dari 5 (lima) tahun di Sinjai (Sulsel) dan Muna (Sultra) pada waktu masih bertugas di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (sekarang BPDASHL) 1993-1999, setelah lima tahun sejak ditanam- keberhasilan luas tanaman mangrove tidak lebih dari 30 persen. Itu pun tumbuh secara sporadis dan tidak merata.
Bila terdapat kisah sukses dalam penanaman mangrove, biasanya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dengan luasan dalam skala kecil (kurang dari 10 hektare), dengan pemeliharaan, dan MRV yang sangat kuat dan ketat sehingga menjamin proses tumbuh dan keberhasilan penanaman mangrove.
Bukti nyata adalah penanaman mangrove di Desa Tongke-Tongke Kec. Sinjai Timur, Kab. Sinjai, Sulsel yang dilakukan oleh M. Thoyeb dan diganjar dengan penghargaan Kalpataru sebagai perintis lingkungan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya