KOMPAS.com – Sejumlah organisasi memprotes pembangunan insinerator Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka di Desa Citaman, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung.
Insenerator PLTSa merupakan fasilitas pemrosesan sampah dengan cara membakar sampah yang ada dan diubah menjadi energi listrik.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil pada Rabu (9/8/2023) telah mengumumkan nama pemenang tender yang akan membangun dan mengelola TPPAS Legok Nangka.
Baca juga: PLTSa Putri Cempo, Menanti Teknologi Baru Pengelolaan Sampah Kota Solo
Sejumlah organisasi seperti Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Walhi Nasional, dan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), menyerukan penghentian penggunaan insinerator.
Mereka mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat meninjau ulang keputusan pemilihan teknologi insenerator di tengah kondisi darurat sampah.
Mereka berpandangan, insinerator PLTSa bukanlah solusi mengatasi persoalan sampah, justru akan menimbulkan permasalahan sosial maupun lingkungan yang baru.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki Paendong mengatakan, insinerator merupakan cara paling mahal untuk menangani sampah dan menghasilkan listrik.
Menurutnya, kota dan kabupaten masih sangat memerlukan tambahan anggaran yang sangat besar untuk mengelola sampah secara terpilah dan mengurangi sampah dari sumbernya.
Baca juga: PLTSa Putri Cempo Solo Ditargetkan Beroperasi Oktober 2023, Moeldoko Ungkap Masih Ada Kendala
Dia menambahkan, pendanaan untuk insinerator seharusnya dialihkan untuk mengelola sampah organik yang menjadi penyebab terbakarnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti dan TPA Leuwigajah.
Untuk diketahui, TPA Sarimukti sempat mengalami insiden kebakaran selama lebih dari tujuh hari dan berujung pada pengumuman status darurat sampah.
“Investasi pada pengomposan berpotensi menghasilkan pekerjaan baru setidaknya enam kali lipat dibanding insinerator,” ujar Meiki, sebagaimana dilansir dari siaran pers AZWI.
Sementara itu, Staf Kebijakan Iklim GAIA Yobel Novian Putra menyebutkan adanya dampak negatif dari insinerator.
Baca juga: PLTSa Putri Cempo Solo Diperkirakan Beroperasi April 2023, Tumpukan Sampah Habis dalam 5 Tahun
“Insinerator hanya akan mereplikasi terbakarnya TPA Sarimukti yang melepas gas rumah kaca dalam skala besar,” tutur Yobel.
“Seperti terbakarnya sampah di TPA, insinerator membakar campuran berbagai jenis sampah, baik sampah organik maupun plastik yang terbuat dari bahan bakar fosil,” sambungnya.
Beberapa studi terbaru menunjukan, insinerator di AS, Inggris, dan Eropa melepaskan emisi gas rumah kaca lebih besar daripada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
“Pembakaran sampah organik hanya mengonversi emisi gas metan dari sampah organik menjadi karbon dioksida secara masif,” paparnya.
“Ini hanya akan menjauhkan Indonesia dari target Perjanjian Paris dan perjanjian Global Methane Pledgeyang ditandatangani Indonesia belum lama ini,” sambungnya.
Baca juga: Uji Coba PLTSa Putri Cempo Solo, Gibran Janji Carikan Solusi bagi Warga yang Terdampak
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya