KOMPAS.com – Para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) terancam berhenti berproduksi karena praktik predatory pricing di platform social commerce alias layanan jual beli di media sosial.
Mereka rela menekan omzet dan berlanjut pada dampak penurunan produksi hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pegawai UMKM dan industri tekstil di Jawa Barat.
Dilansir dari Jurnal Selat 2017, predatory pricing merupakan strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga dibawah biaya produksi.
Baca juga: Tol Trans-Sumatera Hidupkan UMKM Lampung dan Sumatera Selatan
Di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Provinsi Jabar, beberapa pelaku usaha mengaku mengalami penurunan produksi sejak Lebaran sampai saat ini. Beberapa pabrik bahkan tak mampu lagi bertahan untuk terus berproduksi.
Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki menyampaikan, produk mereka kalah bersaing bukan karena kualitas.
Akan tetapi, mereka kalah saing karena persaingan harga yang tidak masuk harga pokok penjualan (HPP) pelaku UKM tekstil.
Anjloknya produksi para pelaku usaha tekstil tersebut juga tak lepas dari menurunnya penjualan pakaian di berbagai pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir.
“Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali,” kata Teten saat mengunjungi beberapa pabrik tekstil di Majalaya, Minggu (24/9/2023).
Baca juga: Access Partnership: Android dan Google Play Dorong Pertumbuhan UMKM lewat Platform Digital
“Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah,” sambungnya sebagaimana dilansir dari siaran pers Kemenkop UMKM.
Saat melakukan kunjungan, Teten turut menggelar diskusi dengan perwakilan dari pelaku usaha seperti Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Paguyuban Textile Majalaya, dan KADIN Kabupaten Bandung.
Menurut Teten, predatory pricing terjadi karena adanya aturan perlindungan atau safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya.
Dia menuturkan, pemerintah berupaya untuk membenahi dan berkoordinasi dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno untuk langkah ke depan.
Baca juga: Phapros Salurkan Dana Kemitraan Rp 2,5 Miliar untuk UMKM
“Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” ucap Teten.
Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta adanya undang-undang untuk mengatur dan meninjau perdagangan online.
“Presiden sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas. Itu termasuk yang sudah kita usulkan Permendag Nomor 50 Tahun 2020 kan sudah selesai tinggal ditetapkan saja,” papar Teten.
Teten menambahkan, perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Berkaca dari China, mereka menerapkan model barang masuk tidak boleh di bawah HPP. Bila diterapkan, hal tersebut dapat melindungi industri dalam negeri.
Baca juga: Kredit Pintar Gelar Pelatihan Gratis Bijak Kelola Hutang bagi UMKM Serang
Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, saat ini perdagangan global memang sedang tidak baik-baik saja.
China, produsen atau manufaktur besar dunia, banyak barangnya yang tak terserap di negara-negara besar seperti di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Sehingga mereka berusaha mencari pasar baru yang aturan perdagangan yang lemah.
Jemmy meminta agar jangan sampai Indonesia hanya dijadikan pasar karena populasinya yang sangat besar, nomor empat terbanyak dunia.
Di sisi lain, produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih lebih baik dan inflasi Indonesia cukup terkontrol dibanding negara lain.
Baca juga: Perbankan Nasional Berdayakan UMKM lewat Pembiayaan Inovatif
“Tak heran Indonesia dibidik menjadi salah satu pangsa pasar. Jika tidak pintar-pintar memasang trade barrier (aturan perdagangan), ekosistem ini akan hancur berimbas ke hulu,” ucap Jemmy.
Ketua Umum IPKB Nandi Herdiaman berujar, adanya serangan impor dengan harga barang di bawah pasar membuat permintaan produk dalam negeri jadi rendah, termasuk yang terjadi di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
“Imbasnya terjadi penurunan produksi bukan cuma satu atau dua pabrik, bahkan ribuan. Ditambah dampak pengangguran bahkan hingga jutaan,” ucapnya Nandi.
Pemilik PT Santosa Kurnia Jaya Dudi Gumilar berujar, UMKM tekstil sudah memproduk sesuai dengan permintaan pasar. Akan tetapi, akhir-akhir ini impor produk tekstil melonjak hingga membuat bahan baku menumpuk di gudang.
“Kami kesulitan menjual hampir 1,5 juta meter bahan menumpuk di pabrik sementara produksi masih berjalan. Kami juga tidak tahu sampai kapan masih bisa produksi, mohon bantuan untuk perlindungan pasar kami,” kata Dudi.
Baca juga: Tingkatkan Skala UMKM Peternak, Amartha Salurkan Permodalan Rp 100 Miliar
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya