Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Kawasan Hutan untuk "Food Estate"

Kompas.com - 30/09/2023, 14:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERMULA dari kontroversi terbitnya Peraturan Menteri LHK P. 24/2020 yang membolehkan food estate di hutan lindung, polemik tentang kawasan hutan untuk food estate dimulai.

Kini food estate, khususnya di Kalimantan Tengah, dituding oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai bagian dari kegiatan kejahatan lingkungan.

Dalam praktiknya, kebijakan itu dianggap disalahgunakan. Hutan ditebang, tetapi food estate tidak terbangun dengan baik.

Food estate yang dianggap bagian kejahatan lingkungan masuk dalam wilayah kejahatan kehutanan. Biasanya dilakukan korporasi secara sistematis, menghancurkan ekosistem, mengganggu kesehatan masyarakat, menimbulkan kerugian negara, dan menurunkan kewibawaan negara.

Indonesia telah merasakan bagaimana dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mengganggu kesehatan, mengganggu kegiatan pendidikan dan perekonomian, serta protes dari negara tetangga akibat pencemaran asap lintas batas yang terjadi beberapa tahun lalu.

Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, salah satu jalan untuk penyediaan lahan food estate yang sangat luas berasal dari kawasan hutan negara.

Pertanyaan mendasar adalah, haruskah hutan ditebang untuk kegiatan food estate? Kawasan hutan apa saja yang boleh/tidak boleh digunakan untuk food estate dan apa saja syarat yang dibutuhkan?

Pemahaman “food estate”

Dalam lokakarya kegiatan penyuluhan di Manado, Sulawesi Utara, yang dihadiri oleh Komisi Penyuluhan Provinsi seluruh Indonesia pada 2014, sebagai nara sumber yang mewakili Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (B2SDM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saya dihujani banyak pertanyaan peserta seputar masalah hutan dan kehutanan di daerah.

Salah satu pertanyaan menarik berasal dari seorang guru besar pertanian dari Univeristas Mulawarman (Unmul) Samarinda.

Pertanyaannya terkait izin alih fungsi lahan (pelepasan kawasan hutan) untuk kegiatan food estate yang dicadangkan sebagai lumbung pangan di Kaltim dan berlokasi di Kabupaten Kutai Timur.

Rekomendasi dan izinya tidak kunjung terbit setelah diajukan ke Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) beberapa tahun sebelumnya, seluas 200.000 ha.

Secara singkat, saya jawab dan jelaskan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan masih berhati-hati untuk memproses pelepasan kawasan hutan untuk food estate di pulau Kalimantan yang lahannya pada umumnya asam dan miskin hara.

Pasalnya, ada pengalaman proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Provinsi Kalteng yang dibangun pada 1995 oleh pemerintah orde baru dan dinyatakan gagal total pada awal era reformasi 1998.

PLG tersebut membuat pemerintah “trauma” melihat dampak kegagalan yang luar biasa.

Fungsi “spon” ekosistem hutan gambut yang mampu menyimpan air pada musim hujan, dan tetap basah pada musim kemarau sehingga jarang terjadi kebakaran, telah hilang.

Bencana ekologis, banjir, dan kekeringan silih berganti. Potensi dan sumber kebakaran yang memproduksi asap pada umumnya berasal dari lahan gambut yang semacam ini.

Untuk memulihkan hutan gambut seperti semula dari ex PLG, rasanya sulit dan membutuhkan waktu puluhan tahun.

Sejak sebelum Indonesia merdeka, pemerintah Hindia Belanda-melalui ahli-ahli pertanian, perkebunan dan kehutanannya- sebenarnya telah memetakan wilayah Indonesia menjadi zona-zona komoditas pertanian (termasuk perkebunan dan kehutanannya) berdasarkan agroklimatnya dengan baik dan itu terbukti sampai hari ini.

Komoditas padi yang merupakan makanan pokok bangsa Indonesia, cocok dan sesuai secara agroklimat hampir di sebagian besar di pulau Jawa yang tanahnya subur dari tanah vulkanis (banyak terdapat gunung berapi) dengan curah hujan cukup.

Kemudian di sebagian pulau Sumatera (Aceh, Sumut, Sumbar, Lampung), sebagian pulau Sulawesi (Sulut, Sulsel) dan pulau Bali.

Demikian juga dengan perkebunan karet dapat ditemukan di Sumut, Jabar, Bengkulu.

Komoditas sawit sangat terkenal di Sumut, yang hasil buah sawitnya tiga kali lipat TBS (tandan buah segar) dari kebun sawit yang ditanam di Kalteng sekarang.

Komoditas kebun teh dapat dijumpai di daerah pegunungan seperti di Puncak Bogor, Bumiayu di Tegal, Kayu Aro, di Kerinci, dan terbukti hasilnya sangat baik.

Komoditas kayu jati di sebagian daerah berkapur di Jateng dan Jatim serta di pulau Muna Sultra, sangat cocok untuk habitat pohon jati yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Terlepas adanya intervensi teknologi (benih, pemumpukan, tata air, mekanisasi, pemasaran dan lain-lain), seharusnya pemerintah belajar dari warisan yang baik dari pemerintah Hindia Belanda dulu dengan mengedepankan aspek agroklimat sebagai faktor utama.

Sementara intervensi teknologi adalah faktor pendukung untuk meningkatkan produksinya.

Konsep food estate selain PLG satu juta ha di kabupaten Kapuas Kalteng yang gagal itu, telah juga dilaksanakan di kabupaten Marauke Papua melalui MIFEE (Merauke Integrated Food and Energi Estate) atau program pengembangan pangan dan energi dengan skala areal sangat luas yang dicanangkan oleh pemerintahan era SBY tahun 2010.

Kementerian Pertanian mencanangkan luas areal seluas 2,5 juta hektare dan direkomendasikan Tim BKPRN (Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Nasional) sebesar 1.282.833 ha atau sekitar 30 persen dari luas wilayah Kabupaten Merauke.

Faktanya saat ini belum ada cerita suksesnya, baik realiasasi maupun produksi pangannya.

Keseriusan tentang program food estate, baru dilakukan oleh pemerintah Joko Widodo tahun 2020, sebagai lumbung pangan dalam rangka ketahanan dan kemandirian pangan bangsa Indonesia setelah terjadinya pandemi Covid-19.

Pemerintah menggarap 130.000 ha lahan di kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau Kalteng sebagai sentra food estate dengan intervensi teknologi dan modal yang memadai.

Di samping itu, pemerintah juga menyiapkan lahan seluas 30.000 ha di kabupaten Humbang Hasundutan Sumut, yang baru dimulai 1000 ha tahun 2020.

Kedua lokasi food estate tersebut belum ada cerita sukses yang diharapkan sampai sekarang karena memang membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang untuk berhasil.

Kawasan hutan untuk food estate

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) no. P.24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dan Peraturan Pemerintah (PP) no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, disebutkan kegiatan penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dilakukan melalui dua mekanisme, yakni perubahan peruntukan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP).

Perubahan peruntukan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dengan skema pelepasan kawasan hutan.

HPK yang dimaksud diprioritaskan pada areal yang tidak produktif dan tidak tumpang tindih dengan izin pemanfaatan hutan atau perizinan lainnya serta tidak dicadangkan untuk redistribusi tanah untuk program reforma agraria.

Dalam PP No. 23/2021, apabila terpaksa pelepasan kawasan hutan untuk penyediaan kawasan food estate juga dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap.

Sementara itu, penetapan KHKP dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi.

Kawasan hutan lindung pada KHKP yang dimaksud adalah kawasan hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Karena pembangunan ketahanan pangan (food estate) dilaksanakan untuk kepentingan negara, maka yang berhak untuk mengajukan permohonan kepada Menteri LHK adalah menteri atau pimpinan lembaga; gubernur atau bupati/wali kota atau kepala badan otorita yang ditugaskan khusus oleh pemerintah pusat.

Sedangkan pembiayaan pelaksanaan penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dengan mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan atau penetapan KHKP, bersumber dari APBN, APBD atau sumber pembiayaan lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam penyediaan kawasan hutan untuk food estate, nampaknya sangat dihindari adanya penebangan hutan yang utuh tutupan hutannya (hutan primer), sehingga tidak ada alasan untuk mengambil hasil hutan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Apabila dilakukan kegiatan land clearing (pembersihan lahan untuk penyiapan lahan tanaman pangan) dengan menebang pohon-pohan/kayu-kayuan, dilakukan pada hutan sekunder yang nilai dan jenis kayunya bukan jenis kayu komersial.

Contoh kasus terkait penebangan hutan untuk food estate seluas 6.000 hektare untuk kegiatan penanaman singkong di Kabupaten Gunung Mas Kalteng.

Sebenarnya di wilayah Kabupaten Gunung Mas (termasuk Kabupaten Kuala Kapuas dan Pulang Pisau) sudah tidak ada lagi kawasan hutan alam primer produksi yang masih utuh, dalam artian belum dijamah oleh konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan).

Semua kawasan hutan produksi ketiga wilayah kabupaten tersebut pada era orde baru telah dikaveling-kaveling menjadi konsesi HPH yang telah ditinggalkan oleh korporasi karena habis masa kontraknya dan dikembalikan lagi kepada pemerintah.

Kalaulah terdapat kegiatan penebangan hutan seperti yang disinyalir oleh Sekjen PDIP tersebut, hal itu adalah penebangan hutan sekunder ex HPH yang ditinggalkan beberapa tahun lalu dan potensi kayu komersial tiap hektarenya sangat rendah. Demikian halnya dengan nilai ekonomis bila dieksploitasi.

Kawasan hutan yang tidak boleh digunakan untuk pembangunan food estate adalah kawasan hutan konservasi (kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, dan hutan lindung yang masih utuh tutupan hutannya atau hutan lindung primer).

Demikian juga hutan produksi primer yang masuk dalam katagori moratorium permanen hutan primer.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com