PADA 29 Oktober 2021, dalam agenda mitigasi krisis lingkungan, Indonesia menetapkan Peraturan Presiden No. 98/2021.
Salah satu muatannya mengamanatkan penyerapan emisi karbon bersih pada 2030 dengan mengutamakan sektor kehutanan dan lahan, atau yang lebih dikenal sebagai FOLU Net Sink 2030.
Dalam visi tersebut, pada 2030 mendatang, emisi karbon yang diserap akan lebih besar daripada yang dilepaskan ke lingkungan.
“Ada empat strategi yang diutamakan: menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta peningkatan serapan karbon,” ungkap Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Namun, terdapat sejumlah kondisi yang harus diperhitungkan dalam jalan menuju pencapaian tersebut.
Dependensi tinggi pada sumber energi berbasis fosil menjadi isu pertama, yang secara utama mendorong tingkat emisi karbon nasional.
Pada 2022, sektor energi nasional telah mengemisi 692 juta ton karbon dioksida, menjadi yang tertinggi keenam di dunia.
Melantainya bursa karbon pada September 2023, yang akan dilanjutkan dengan pajak karbon pada 2025, menjadi langkah yang diambil dalam mendorong transisi menuju perekonomian berenergi bersih.
Namun, ketersediaan infrastruktur energi baru terbarukan (EBT) yang masih terbatas membuat transisi tersebut belum sepenuhnya efektif.
Indonesia memiliki potensi EBT mencapai 3.686 gigawatt, sesuai estimasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Saat ini, pemanfaatannya masih rendah, hanya 0,3 persen, tutur Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai kesiapan transisi energi Indonesia masih rendah.
Dibutuhkan setidaknya investasi sebesar 25 miliar dollar AS (Rp 384,8 triliun) untuk membangun infrastruktur EBT, sementara yang terealisasi setiap tahunnya tak pernah lebih dari 2 miliar dollar AS.
Akibatnya, pada 2022, bauran EBT baru mencapai 14,11 persen, masih jauh di bawah target 23 persen pada 2025.
Deforestasi dan kebakaran hutan juga menjadi tantangan besar dalam mencapai FOLU Net Sink 2030.
Kebakaran yang menghanguskan hingga 504 hektare lahan Taman Nasional Bromo pada awal September 2023, menjadi pengingat akan panjangnya daftar kasus karhutla yang mendera Indonesia setiap tahunnya.
Selama 20 tahun terakhir, kebakaran telah menghanguskan lebih dari 2,87 juta hektare hutan nasional. Pada 2022 saja, seluas 230.000 hektare hutan primer hangus terbakar, dengan total emisi karbon yang dihasilkan mencapai 177 juta ton.
Dana Dunia Untuk Alam (WWF) meyakini bahwa setidaknya 75 persen di antara kebakaran tersebut melibatkan aktivitas manusia. Pembukaan lahan dengan sistem tebang bakar masih menjadi salah satu penyebab utamanya.
Deforestasi juga belum berhenti sepenuhnya, meski moratorium perizinan hutan telah dipermanenkan pada 2019.
Masih adanya pembalakan liar menjadi salah satu penyebab Indonesia menjadi negara dengan penurunan luas hutan primer terbesar keempat di dunia pada 2022.
Sepanjang tahun ini saja, di Riau, telah terdapat 10 kasus pembalakan ilegal yang ditangani oleh kepolisian setempat.
Dengan masih tingginya tingkat emisi karbon dan penurunan luas kawasan hutan, sudahkah kita berada di jalan yang tepat mencapai penyerapan emisi bersih pada 2030?
Mencapai penyerapan karbon bersih sejatinya bukan hanya soal menghentikan deforestasi dan emisi, namun juga menemukan alternatif menciptakan perekonomian yang lebih ramah lingkungan.
Dengan prinsip transisi ini, FOLU Net Sink 2030 merupakan visi yang sesungguhnya dapat diwujudkan.
Kesiapan fasilitas energi bersih dibutuhkan agar implementasi pasar dan pajak karbon efektif mendorong transisi menuju perekonomian berkelanjutan.
Tanpa kesediaan infrastruktur tersebut, perekonomian akan tetap melanjutkan aktivitas intensif karbon meski biaya yang ditanggung menjadi lebih besar.
Oleh karena itu, kebijakan subsidi energi bersih harus menjadi bagian sentral dalam reformasi sistem energi nasional. Insentif keuangan dapat menjadi faktor kuat menarik investor domestik dan global untuk membangun pembangkit EBT di Indonesia.
Kebijakan ini serupa dengan Pemerintah Tiongkok, yang pada tahun lalu, mengeluarkan dana sebesar 3,87 miliar yuan (Rp 8,2 triliun) sebagai subsidi pembangunan pembangkit listrik bertenaga angin, surya, dan biomassa.
Hasilnya, kapasitas EBT di negara tirai bambu berhasil meningkat tajam sebesar 14 persen pada 2022.
Kebijakan moratorium perizinan, yang hanya melindungi kawasan hutan primer dan lahan gambut, juga harus ditinjau kembali.
Perluasan cakupan dibutuhkan untuk turut melindungi kawasan hutan sekunder yang kini tersisa 35 juta hektare.
Padahal, pada 2021-2022, laju deforestasi tertinggi terjadi pada hutan sekunder, yang mencapai 89,1 persen dari total deforestasi.
Di sisi lain, peralihan sistem pertanian monokultur menjadi agroforestri juga dapat menjadi solusi menurunkan laju deforestasi di sektor agrikultur.
Melalui metode ini, pengelolaan tanaman pangan yang disejalankan dengan konservasi hutan tak hanya akan mengurangi aktivitas perambahan lahan, namun juga menjamin keamanan pangan bagi lebih banyak penduduk, tegas Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).
Restorasi hutan juga harus diutamakan untuk memperbaiki dampak yang telah ditimbulkan deforestasi.
Pada Juni 2021, Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan dekade ini sebagai Dekade Restorasi Ekosistem.
Indonesia harus mengambil bagian kuat dalam upaya tersebut. Salah satunya, dengan membangun kesadaran dan mendukung komunitas lokal dan masyarakat adat, yang selama ini menjadi salah satu penjaga hutan terbaik.
Melalui pelibatan bersama seluruh elemen masyarakat, kita mampu menciptakan perekonomian berkelanjutan lingkungan dan merestorasi kembali fungsi ekosistem hutan.
Dengan demikian, target penyerapan karbon bersih pada 2030 menjadi visi yang benar-benar dapat kita raih.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya