Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Alih Fungsi Lahan, Biang Keladi Suhu Panas

Kompas.com - 11/10/2023, 16:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS, Selasa (10/10/2023), menurunkan berita yang cukup menarik dengan judul “Pulau Panas Perkotaan Jabodetabek Meluas ke Pinggiran".

Fenomena pulau panas perkotaan atau biasa disebut urban heat island di wilayah Jabodetabek meluas ke arah Kota tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi dengan perbedaan suhu permukaan tanah mencapai 3-6 derajat celcius lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan pedesaan.

Penyebab utamanya fenomena ini adalah alih fungsi lahan hijau menjadi bangunan.

Pulau panas perkotaan biasanya diukur berdasarkan kontas suhu udara permukaan antara perkotaan dan pedesaan.

Fenomena ini antara lain disebabkan pelepasan emisi antropogenik dari sistem pemanasan ventilasi AC, motor, kendaraan dan proses industri, jumlah kelembaban yang tersedia dan perbedaan kapasitas panas bahan bangunan perkotaan dengan struktur alami di pedesaan.

Perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan, khususnya di perkotaan, juga memengaruhi kondisi iklim dan lingkungan.

Hal ini tidak hanya memengaruhi suhu, tetapi juga kekeruhan, curah hujan, serta kualitas air dan udara.

Luas vegetasi berkurang dan perubahan menjadi beton aspal, serta lahan terbuka akan turut meningkatkan suhu udara.

Menurut kajian yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), selama 16 tahun perluasan perkotaan berkembang secara signifikan dari pusat kota di wilayah utara hingga wilayah sekitarnya di wilayah selatan.

Umumnya, pada 2004 hingga 2020, kawasan bervegetasi diubah menjadi kawasan terbangun dan lahan tandus.

Pada 2020 luas lahan terbangun bertambah dari 1.066 ha menjadi 1.681,3 ha, meningkat hingga 25 persen. Sementara lahan gersang bertambah dari 848,5 ha menjadi 1.681,3 ha, meningkat 25 persen dari total luas.

Pada 2020, tutupan vegetasi berkurang dari 4.202 ha menjadi 2.866,4 ha, berkurang hampir 20 persen. Perairan juga berkurang dari 654,3 ha menjadi 541,1 ha atau sekitar 2 persen.

Pertumbuhan perkotaan yang dominan berupa perluasan kawasan permukiman, terjadi di kawasan pinggiran kota metropolitan Jakarta, seperti Kota Depok, Kota Bogor, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.

Dengan tren ini, wilayah tersebut mengalami kenaikan suhu tertinggi dengan suhu rata-rata permukaan adalah 27,97 derajat Celsius pada 2004, kemudian 30,82 derajat Celsius pada 2014, dan 28,7 derajat Celsius pada 2020.

Area suhu panas permukaan siang dan malam memiliki area lebih besar dan luas pada saat September-Oktober-November.

Kawasan suhu panas siang hari lebih meluas ke arah barat dan timur di luar wilayah Jabodetabek pada periode ini dengan suhu yang lebih kuat di pusat kota.

Alih fungsi lahan skala luas

Hilangnya hutan hujan tropis membuat produksi emisi karbon menjadi emisi gas rumah kaca naik semakin cepat.

Peneliti Departemen Teknik Sipil di University of Hong Kong dan Southern University of Science and Technology menyebut simpanan karbon hutan tropis yang terlepas pada 2001-2005 sebanyak 0,97 miliar ton setara CO2 per tahun, naik menjadi 1,99 miliar ton pada 2015-20219.

Studi di University of Hong Kong itu menyebutkan bahwa perubahan fungsi hutan menjadi nonhutan menyumbang 48 persen pelepasan emisi karbon menjadi gas rumah kaca.

Lalu gas rumah kaca dari transportasi sebanyak 21 persen, kebakaran 12 persen, limbah pabrik 11 persen, pertanian 5 persen, dan industri 3 persen.

Akibat pelepasan emisi karbon semakin banyak, suhu bumi naik hampir 1,2 derajat celcius dibanding masa praindustri 1800-1850.

Akibatnya adalah gelombang panas, suhu dan cuaca ekstrem, musim yang menyeleweng, badai, topan, curah hujan yang intens, dan bencana hidrometeorologi lain yang acap terjadi selama 2022.

Sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia, pengelolaan hutan Indonesia jelas berpengaruh pada hilangnya simpanan karbon menjadi gas rumah kaca penyebab krisis iklim.

Alih fungsi hutan (deforestasi), baik oleh penebangan, pembakaran, atau penggundulan untuk tujuan nonkehutanan menjadi penyebab utama hilangnya karbon hutan.

Pemanasan suhu bumi, kenaikan muka air laut, terjadinya banjir dan juga badai karena perubahan iklim akan membawa perubahan besar pada habitat sebagai rumah alami bagi berbagai spesies binatang, tanaman, dan berbagai organisme lain.

Perubahan habitat akan menyebabkan punahnya berbagai spesies, baik binatang maupun tanaman, seperti pohon-pohon besar di hutan yang menjadi penyerap utama karbon dioksida.

Hal ini disebabkan mereka tidak sempat beradaptasi terhadap perubahan suhu dan perubahan alam yang terjadi terlalu cepat.

Punahnya berbagai spesies ini, akan berdampak lebih besar lagi pada ekosistem dan rantai makanan.

Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak sekaligus penyebab perubahan iklim. Akibat terbakar, simpanan karbon hutan menjadi terlepas ke atmosfer sebagai gas rumah kaca.

Pohon-pohon yang mati karena perubahan tata guna hutan, ataupun karena mengering dengan sendirinya akibat meningkatnya suhu dalam perubahan iklim, akan melepaskan karbon dioksida dan gas rumah kaca lain lebih banyak ke udara.

Kenaikan suhu dan curah hujan bisa meningkatkan penyebaran wabah penyakit yang mematikan, seperti malaria, kolera dan demam berdarah.

Hal ini disebabkan karena nyamuk pembawa virus-virus tersebut hidup dan berkembang biak pada cuaca yang panas dan lembab.

Rusaknya lapisan ozon menyebabkan peningkatan intensitas sinar ultra violet yang mencapai permukaan bumi penyebab kanker kulit, katarak, dan penurunan daya tahan tubuh sehingga manusia menjadi rentan terhadap penyakit.

Manusia menjadi lebih rentan terhadap asma dan alergi, penyakit kardiovaskular, jantung dan stroke. Suhu yang terlalu panas dan berkurangnya ketersediaan air akan menghambat produktivitas pertanian.

Perubahan iklim juga akan mengakibatkan perubahan masa tanam dan panen ataupun menyebabkan munculnya hama dan wabah penyakit pada tanaman yang sebelumnya tidak ada.

Kondisi ini seharusnya mengingatkan kita untuk lebih giat melindungi hutan. Rimbawan menjadi garda depan perlindungan hutan hujan tropis kita.

Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) seluas 120,3 juta hektare, yang terdiri dari 22,9 juta hektare hutan konservasi, 29,6 juta hektare hutan lindung, 26,8 juta hektare hutan produksi terbatas, 29,2 juta hektare hutan produksi biasa dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi.

Sementara itu, APL luasnya 67,5 juta hektare yang masih memiliki tutupan hutan seluas 6,4 juta hektare yang terdiri dari hutan primer 1,5 juta hektare dan hutan sekunder 4,9 juta hektare.

Namun faktanya di lapangan (de facto) yang masih mempunyai tutupan hutan (forest coverage) dan mempunyai fungsi sebagai penyerap emisi karbon dan meredam kenaikan suhu bumi tinggal seluas 86,9 juta hektare, yang terdiri dari hutan konservasi (HK) 17,4 juta hektare, hutan lindung 24,0 juta hektare, hutan produksi terbatas (HPT) 21,4 juta hektare, hutan produksi biasa (HP) 17,8 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 6,3 juta hektare.

Sementara seluas 33,4 juta hektare merupakan kawasan hutan yang sudah tidak mempunyai tutupan hutan, berupa lahan kritis, semak belukar lahan terbuka maupun lahan tidak produktif lainnya.

Meski kawasan hutan seluas 33,4 juta hektare merupakan kawasan yang tidak mempunyai tutupan hutan (forest coverage), namun kawasan hutan tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 5,4 juta, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta hektare.

Alih fungsi lahan hutan akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya laju deforestasi setiap tahunnya.

Pertanyaanya adalah apa yang mesti dilakukan untuk meredam kenaikan suhu bumi sekaligus mengendalikan krisis iklim ini ?

Menahan laju alih fungsi hutan dan lahan tutupan hutan

Pertama, langkah preventif, yaitu mempertahankan kondisi hutan dan tutupan hutan yang masih ada. Instruksi Presiden Nomor 5/2020 tentang penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut seluas 66,3 juta hektare menjadi langkah awal mencegah krisis iklim.

Di samping itu, izin-izin alih fungsi hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan (dalam PP 23/2021 diubah menjadi persetujuan pinjam pakai kawasan hutan), perlu seleksi seketat mungkin.

Izin alih fungsi hutan hanya diprioritaskan pada kepentingan yang mendesak dan urgen saja—dengan tidak menambah diskresi “kepentingan mendesak dan urgen” itu.

Pengawasan dan perlindungan hutan lebih ditingkatkan lagi kualitas dan kuantitasnya sehingga menekan laju deforestasi hutan 450.000 hektare setiap tahun.

Pemulihan hutan dengan pengawasan pohon hingga berusia 20 tahun bisa menjadi cara tepat menjaga hutan tropis Indoensia.

Kedua, langkah kuratif, yakni mengembalikan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan menjadi kawasan hutan atau kawasan yang mempunyai tutupan hutan kembali.

Caranya dengan mengintensifkan kegiatan rehabilitasi lahan, baik yang didanai oleh pemerintah maupun swadaya oleh masyarakat.

Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020-2024 ada data tentang lahan kritis. Berapa luas lahan kritis di Indonesia sekarang?

Menurut dokumen tersebut, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare pada 2018. Terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektare, hutan lindung 2.379.371 hektare, hutan produksi 5.109.936 hektare, kawasan lindung pada areal penggunaan lain (APL) 2.234.657 hektare, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare.

Luas lahan kritis ini belum memasukkan laju deforestasi tahunan yang rata-rata 450.000 hektare. Sementara lahan kritis kawasan hutan angkanya juga masih tinggi.

Lahan kritis dalam kawasan hutan punya andil besar dalam melepaskan emisi karbon hutan menjadi gas rumah kaca, khususnya di hutan gambut yang rusak dan bekas kebakaran serta mangrove.

Dari 13,34 juta hektare lahan gambut, 2 juta hektare harus dipulihkan. Sedangkan hutan mangrove seluas 3,56 juta hektare, hanya 2,37 juta hektare dalam kondisi baik dan 1,19 juta hektare rusak.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com