JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi terjadinya anomali iklim, baik El Nino dari Samudera Pasifik dan Indian Dipole Ocean (atau Dipol Samudera Hindia positif sejak Juli 2023 hingga selesai Maret 2024.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menegaskan hal ini dalam acara live Youtube "Kolaborasi Global Antisipasi Krisis Air Dampak Perubahan Iklim", Senin (16/10/2023).
"Kita bisa mendeteksi potensi terjadinya anomali iklim, baik El Nino dari Samudera Pasifik dan Indian Dipole Ocean positif dari Samudera Hindia, dan kami prediksi itu akan dimulai sejak Juli tahun ini dan berakhir tahun depan yaitu sekitar Maret, Februari-Maret itu akan berlangsung," jelas Dwikorita.
Pada periode tersebut, akan terjadi peristiwa El Nino modera atau setara dengan anomali iklim yang terjadi pada tahun 2019. Saat itu, dampaknya akan terjadi kebakaran lahan dan hutan, maupun kekeringan.
Baca juga: 3,46 Juta Keluarga Terancam Kekeringan akibat El Nino
Dwikorita mengungkapkan, hal ini didasari oleh monitoring yang dilakukan BMKG secara menerus melalui data satelit terhadap suhu muka air laut, baik di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia pada Januari tahun 2023 atau akhir tahun lalu.
"Namun, kali ini, karena kita sudah deteksi lebih dini, di akhir tahun lalu atau awal tahun ini. Maka, potensi dampak itu dimitigasi sejak dini," tambah dia.
Misalnya, sejak Februari 2023, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menyiapkan waduk, irigasi, maupun embung.
Bahkan, kata Dwikorita, Kementerian PUPR telah menyiapkan pengeboran sumur air untuk berjaga-jaga apabila nantinya kekurangan air.
Kemudian, BMKG bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memodifikasi teknologi cuaca.
Tujuannya, untuk mengarahkan awan-awan hujan turun di calon lokasi yang diprediksi kekeringan.
"Jadi, menabung air tanah dari hujan, disiapkan agar Juli nanti turunnya muka air tanah tidak terlalu dalam dan kahan gambut tidak terlalu kering. Sehingga, tidak terlalu basah. Juga, awan-awan hujan disiapkan untuk mengisi embung-embung," tuntas Dwikorita.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya