Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang Mencemaskan

Kompas.com, 20 Oktober 2023, 11:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH satu pasal kontroversi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41/1999 tentang kehutanan adalah penggunaan kawasan hutan yang diatur dalam pasal 38.

Pasal ini mengizinkan pemakaian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan di hutan produksi dan hutan lindung. Juga pemakaian hutan untuk pertambangan melalui skema izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Lihat saja Tajuk Rencana harian Kompas, 5 Juni 2023, mengulas tentang kelanjutan pembangunan jalan yang menembus hutan lindung di Aceh yang diberi judul “Hutan Dibelah Tanpa Lelah”.

Pemerintah Aceh menyebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan izin pemakaian hutan untuk pembangunan jalan tembus yang menghubungkan Jantho (Aceh Besar) – Lamno (Aceh Jaya) sehingga tahun depan proyek bisa dilanjutkan lagi untuk tujuh kilometer ruas jalan.

Penggunaan hutan lindung untuk pembangunan jalan sudah barang tentu menggunakan mekanisme IPPKH.

Pada masa lalu, meskipun ada penjelasan bahwa pembangunan di luar kepentingan kehutanan mesti selektif, larangan alih fungsi hutan, penambangan terbuka mesti persetujuan DPR. Skema izin pinjam pakai kawasan hutan ini belum mampu menjamin penyimpangan.

Skema pinjam pakai kawasan hutan justru menjadi pintu masuk alih fungsi hutan. Setelah UU Cipta Kerja disahkan, skema pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan nonkehutanan berlanjut dan lebih mengkhawatirkan.

Berikut ini analisis beberapa dampaknya:

Pada 11 Maret 2004, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kehutanan Nomor 1/2004 untuk menyelesaikan tumpang-tindih areal pertambangan di hutan lindung.

Perpu ini memberikan izin bagi 13 perusahaan tambang—dari 22 perusahaan—untuk melanjutkan kegiatan produksinya. Alasannya, 13 perusahaan itu memiliki cadangan tambang yang jelas dan memenuhi syarat keekonomian.

Perpu Nomor 1/2004 menambah ketentuan baru pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum UU 41/1999 berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Perpu ini sebenarnya tidak perlu terbit apabila izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) clear and clean tata kelolanya. Praktiknya, banyak penyimpangan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pertambangan.

Pemerintah daerah banyak memberikan rekomendasi pertimbangan teknis dan lemahnya pengawasan pemerintah pusat, dalam ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Setelah UU Cipta Kerja bidang kehutanan tahun 2020, izin pinjam pakai kawasan hutan tak perlu lagi persetujuan DPR. Ini menandakan kontrol dan kuasa penuh dalam izin pinjam pakai kawasan hutan berada di tangan pemerintah, yakni Menteri LHK.

Dengan tidak adanya fungsi pengawasan DPR sangat berbahaya bagi kelestarian kawasan hutan di Indonesia.

Para politisi mengkritik pemerintah di titik ini karena mereka menganggap pertimbangan ekonomi lebih dominan dibanding lingkungan.

Soalnya, PP 105 Tahun 2015 menyebutkan bahwa aktivitas nonkehutanan selain harus punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) juga wajib menyerahkan lahan kompensasi. Untuk pertambangan, lahan kompensasinya dua kali lipat dari luas lahan pinjam pakai.

Dalam PP 23/2021, IPPKH diubah menjadi persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Di aturan baru ini, pengusaha diberi pilihan: sediakan lahan kompensasi atau bayar PNBP kompensasi plus PNBP penggunaan kawasan hutan.

Ketua Komisi IV bidang pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan DPR RI menilai PNBP kompensasi mengancam kelestarian dan keberadaan hutan serta merugikan negara dan masyarakat.

Menurut dia, penetapan nilai PNBP Kompensasi harus memperhatikan nilai ekonomi hutan dan jasa lingkungannya serta menjamin hutan tetap lestari.

Karena izin pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk keperluan lain harus diperjelas dan dipertegas, bahkan dihentikan karena alih fungsi hutan lindung dalam skala luas akan mengancam kelestarian kawasan hutan.

Pemulihan kawasan hutan lindung, termasuk rehabilitasi dan revegetasinya, tidak semudah di hutan produksi. Oleh karena itu, pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk masa yang akan datang harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.

Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) seluas 120,3 juta hektare, sebanyak 29,6 juta hektare di antaranya adalah hutan lindung.

Dari 29,6 juta hektare hutan lindung tersebut, 5,6 juta hektare di antaranya termasuk hutan lindung yang telah rusak dalam artian hutan lindung yang tidak lagi mempunyai tutupan hutannya (non forested) akibat berbagai faktor, salah satunya IPPKH untuk pertambangan.

Mengutip data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK periode tahun 1984-2020 yang dirilis akun Instagram resminya dan dilansir Kompas.com, Minggu (31/1/2021), baik IPPKH maupun pelepasan hutan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Era Presiden Soeharto sepanjang 1984 sampai 1998, jumlah IPPKH yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru, yakni seluas 66.251 hektare (ha). Rinciannya 53.010 ha untuk peruntukan tambang dan non-tambang seluas 13.241 ha.

Kemudian pada 1998-1999 atau era Presiden BJ Habibie, jumlah IPPKH yang diterbitkan, yakni seluas 22.126 ha dengan rincian 21.196 ha untuk kebutuhan tambang dan 930 ha untuk non-tambang.

Era Presiden Abdurrahman Wahid, jumlah IPPKH yang dikeluarkan pemerintah, yakni seluas 33.539 ha yang meliputi 32.110 ha sebagai peruntukan tambang 1.429 ha sebagai area non-tambang.

Saat Presiden Megawati Soekarnoputri, luasan IPPKH menurun, yakni seluas 13.701 ha dengan rincian 1.473 ha sebagai area tambang dan 12.228 ha sebagai area non-tambang.

Jumlah IPPKH melonjak di dua periode pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono ( SBY) dengan luas mencapai 322.169 ha yang meliputi peruntukan tambang 305.070 ha dan 17.097 ha sebagai kawasan non-tambang atau terbesar dibanding 5 Presiden Indonesia lainnya.

Terakhir era Presiden Joko Widodo, jumlah IPPKH yang diterbitkan pemerintah, yakni seluas 131.516 ha dengan rincian 117.106 ha untuk area tambang dan 14.410 ha untuk kawasan non-tambang.

Berikut rincian penerbitan IPPKH per periode pemerintahan dari tahun 1984-2020:

  • Soeharto (1984-1998): 66.251 ha
  • BJ Habibie (1998-1999): 22.126 ha
  • Abdurrahman Wahid (1999-2001): 33.539 ha
  • Megawati Soekarnoputri (2001-2004): 13.701 ha
  • Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014): 322.167 ha
  • Joko Widodo (2014-2020): 131.516 ha
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau