DALAM konferensi tingkat tinggi negara-negara pulau dan kepulauan di Bali, Presiden Joko Widodo menyampaikan pentingnya kewaspadaan dan kesiapan bersama dalam menghadapi perubahan iklim, kenaikan muka air laut, dan pencemaran laut.
Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, temperatur mengalami kenaikan 0,5 derajat celcius hingga 1 derajat celcius, yang menimbulkan perubahan lingkungan, mencairnya es di kutub dan perubahan pola curah hujan.
Kenaikan muka air laut akibat mencairnya es di kutub sebagai dampak pemanasan global, menjadi ancaman bagi negara-negara pulau (island state) dan negara kepulauan (archipelagic state).
Negara-negara pulau antara lain Tuvalu, Vanuatu, Mikronesia, Damoa, dan Maladewa. Sementara negara kepulauan antara lain Indonesia, Filipina Vietnam, Malaysia, Singapura Jepang, Papua Nugini, dan Selandia Baru.
Kenaikan muka air laut akan berdampak fatal bagi lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagian dataran rendah dan pesisir akan mengalami abrasi dan tergenang permanen. Sehingga luas daratan akan berkurang.
Kenaikan muka air laut juga akan mengakibatkan gangguan ekologi pada ekosistem mangrove, padang lamun dan kawasan budidaya di dataran rendah seperti tambak dan pertanian.
Kenaikan muka air laut juga dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil yang dimiliki oleh negara-negara pulau dan negara kepulauan.
Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan dua ribu kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya.
Negara-negara pulau dan negara kepulauan perlu melakukan identifikasi, pemetaan dan monitoring yang lebih intensif terhadap keberadaan pulau-pulau kecilnya, dengan memanfaatkan teknologi geospasial dan penginderaan jauh.
Citra satelit resolusi tinggi seperti Geoeye, Worldview, Ikonos, Quickbird, dan Formosat dapat digunakan untuk monitoring dinamika di pulau-pulau kecil akibat kenaikan muka air laut.
Citra satelit ini memiliki keunggulan dapat melakukan perekaman permukaan bumi hingga 50 cm, sehingga sangat akurat untuk pemetaan dinamika lingkungan di pulau-pulau kecil.
Citra satelit tersebut juga bisa digunakan untuk analisis potensi sumber daya alam, potensi mineral, tambang, dan tutupan hutan di pulau-pulau kecil.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia perlu meningkatkan kapasitas dan kemampuan terkait penginderaan jauh, dan seyogyanya kita mempunyai satelit sendiri untuk kemandirian pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Data geospasial berupa garis pantai dan batimetri sangat penting untuk mendukung pemodelan potensi tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat kenaikan muka air laut.
Data garis pantai dan batimetri yang detail dapat diperoleh dari rangkaian peta rupa bumi skala detail, misalnya skala 1:5000.
Sayangnya kita belum selesai dengan peta rupa bumi skala detail untuk seluruh wilayah Indonesia.
Badan Informasi Geospasial sebagai lembaga pemerintah yang bertugas menyelenggarakan informasi geospasial sedang berupaya menyelesaikan peta skala detail secepat mungkin. Peta ini sangat penting untuk mendukung monitoring pulau-pulau kecil.
Dengan tersedianya data penginderaan jauh dan citra satelit yang diintegrasikan dengan peta rupa bumi skala detail, akan memudahkan dalam monitoring pulau-pulau kecil untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dan kenaikan muka air laut.
Integrasi informasi geospasial juga dapat digunakan untuk mendukung proses perhitungan jumlah pulau secara presisi, perhitungan luasan, pemberian nama atau toponimi, identifikasi status dan kepemilikan pulau-pulau kecil serta untuk mendukung pertahanan keamanan negara.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya