KOMPAS.com – Rancangan dokumen rencana investasi dan kebijakan komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) dinilai masih setengah hati dalam mewujudkan transisi energi berkeadilan di Indonesia.
Salah satu yang disorot dalam rancangan CIPP JETP adalah masih minimnya target pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, rancangan CIPP JETP cukup kontradiktif.
Baca juga: Draf Rencana Investasi JETP Dirilis, Ketenagalistrikan Jadi Sorotan
Dalam rancangan CIPP, bauran energi terbarukan ditarget cukup ambisius yakni mencapai 44 persen pada 2030.
Akan tetapi, kontradiksinya adalah hanya dua PLTU batu bara yang masuk daftar pensiun dini dalam rancangan CIPP JETP yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon.
“Sebagian PLTU yang masuk pensiun dini, yakni PLTU Cirebon-1, sebenarnya sudah masuk dalam skema ETM (Energy Transition Mechanism),” kata Bhima dilansir dari situs web Celios, Kamis (17/11/2023).
“Jadi seolah tidak ada niatan untuk benar-benar melakukan penutupan PLTU batu bara. JETP menjadi tidak jelas, awalnya mau pensiun PLTU batu bara justru tidak dilakukan dengan serius,” sambungnya.
Baca juga: Draf Rencana Investasi JETP Dirilis, Pembangkit Energi Terbarukan Ditarget 44 Persen
Direktur Program Transisi Bersih Harryadin Mahardika mengatakan, hal yang sama pernah dilakukan Indonesia.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diterbitkan pada 2014, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2023 dan 31 persen pada 2050.
Namun pada saat yang sama, Indonesia juga memulai program 35 gigawatt (GW) pembangkit yang mayoritas adalah PLTU batu bara.
Penambahan PLTU justru menggerus ruang pengembangan energi terbarukan, sehingga target bauran energi hijau tidak tercapai.
Baca juga: Penyusunan Rencana Dokumen JETP Dianggap Kurang Transparan
“Dalam dokumen CIPP, PLTU captive tidak dimasukkan. Padahal, pertumbuhannya sangat tinggi dari 1,3 GW pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023, dan masih terus bertambah,” jelas Harryandi.
Dia menyampaikan, pembiaran PLTU captive akan menjadi penghalang besar yang dapat menggagalkan target nol emisi Indonesia.
“Meski target CIPP tercapai 100 persen, target nol emisi Indonesia tidak akan pernah tercapai lantaran PLTU captive akan tetap hasilkan emisi dalam jumlah besar,” tuturnya.
Dian Sunardi dari Arise! Indonesia juga mengaku kecewa dengan adanya usulan penerapan bahan bakar alternatif seperti co-firing biomassa dalam PLTU yang dianggap sebagai solusi palsi.
Baca juga: Dana JETP Jauh dari Cukup untuk Transisi Energi Indonesia
Dia menilai, solusi palsu tersebut terbukti tidak akan efektif dalam mengurangi emisi.
Bahkan, penerapannya tersebut justru memperkaya segelintir individu-oligarki, mempromosikan privatisasi dan komodifikasi sumberdaya ekologis, dan membebaskan korporasi yang berkontribusi terhadap krisis iklim dari tanggung jawabnya.
“Dan yang paling penting, malah akan memperparah krisis iklim dan merusak masa depan transisi energi Indonesia. Indonesia harus mengambil sikap tegas, menyatakan tidak pada solusi palsu dan mengeluarkannya dari CIPP,” jelas Dian.
Baca juga: Bijak Mengelola Pendanaan JETP untuk Transisi Energi Berkeadilan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya